Dulu, ketika masih awal
kuliah, sekitar tahun 2009, dalam sebuah kelas diskusi, seorang dosen pernah
bertanya,” Nak, apa yang hendak kamu cari dengan menuntut ilmu?” Lalu saya pun
menjawab,” Tentu saja prestise, Bu.”
Kemudian ibu dosen itu berkata lagi,” Nak, kalau kamu menuntut ilmu hanya demi prestise, tiadalah guna ilmu yang kau
dapatkan itu. Tuntutlah ilmu dengan mulai menghargai setiap proses menuntut
ilmu itu sendiri. Perkuat juga niat dan keyakinanmu, meskipun jalan itu terjal
dan berliku. Niscaya engkau pun akan tahu hakikat sesungguhnya ilmu itu.” Saya
pun merenungkan betul apa yang dosen saya katakan tersebut.
Suatu hari, saya
membaca sebuah buku yang saya pinjam di perpustakaan untuk dipergunakan dalam
salah satu mata kuliah sastra. Saya menemukan sebuah tulisan menarik yang
intinya demikian: “Ketika masih muda dan
bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah dunia. Seiring bertambahnya usia
dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah. Maka cita-cita itu
pun kupersempit. Lalu kuputuskan hanya mengubah negeriku. Namun tampaknya hasrat
itu pun tiada hasilnya. Ketika usiaku semakin senja, dengan semangat yang masih
tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang yang paling dekat
denganku. Celakanya, mereka tak mau diubah. Sementara aku berbaring saat ajal
menjelang, tiba-tiba kusadari, andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku,
maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan mungkin aku bisa mengubah
keluargaku. Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi aku mampu
memperbaiki negeriku. Kemudian siapa tahu aku bisa mengubah dunia.”
Tulisan yang saya baca
tersebut rupanya masih cukup relevan dengan apa yang dikatakan dosen saya
sebelumnya. Kembali, saya pun merenung. Waktu itu saya masih seorang mahasiswa
baru di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Pengalaman yang saya
dapatkan pun masih minim. Yang saya tahu dari kuliah itu sendiri adalah datang,
melakukan presensi, kemudian menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh
dosen. Seiring berjalannya waktu, seiring pula dengan pergaulan saya dengan
teman-teman yang semakin meluas, cara pandang saya pun perlahan mulai berubah. Saya
mengambil waktu di mana saya melakukan refleksi diri terhadap apa yang
sesungguhnya saya cari.
Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia adalah program studi yang telah saya pilih dengan kemantapan
hati, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. Mengapa demikian? Sastra adalah
bidang yang memang saya minati, bahkan sejak masih duduk di bangku sekolah
dasar. Keinginan saya mendalami sastra semakin besar manakala saya duduk di
bangku kelas 2 SMP. Kebetulan saya diajar oleh seorang guru Bahasa Indonesia
yang begitu menarik perhatian saya. Masih saya ingat, beliau tidak hanya fasih
dalam mengajar, tetapi juga menulis. Bersama sang suami, sudah banyak tulisan
bergenre sastra yang dihasilkan oleh beliau. Bahkan, beberapa di antaranya
berhasil diterbitkan menjadi buku. Lalu terbersitlah dalam pikiran saya, suatu
hari nanti, saya juga harus bisa menulis. Tidak sekadar menikmati sastra dengan
membaca, tapi saya juga harus bisa menghasilkan tulisan-tulisan yang bisa
dinikmati pula oleh orang lain. Siapa tahu, satu di antara tulisan-tulisan saya
itu dapat pula menjadi inspirasi untuk orang lain. Itulah mimpi saya waktu itu.
Kembali ke masa
perkuliahan saya tadi. Setelah berhasil masuk prodi bahasa dan sastra, saya pun
bertekad meraih mimpi, meskipun ada harga mahal yang harus saya bayar:
pengorbanan dan kerja keras. Saya menyadari bahwa saya tidak seperti
teman-teman saya yang lain. Keterbatasan kedua orang tua saya yang hanya
bekerja sebagai buruh pabrik, tak menyurutkan langkah saya, meski harus
tertatih-tatih, saya tidak boleh berhenti di tengah jalan.
Masuk semester tiga,
saya mengambil keputusan untuk bekerja paruh waktu demi meringankan biaya yang
harus dikeluarkan orang tua saya. Maka, pagi hari pun saya kuliah, sore hingga
malam hari saya bekerja. Semua saya lakukan, walau kadang ingin sekali rasanya
saya menangis dalam hati. Namun ketika ingat wajah kedua orang tua saya,
semangat ini pun kembali membara. Ketika liburan semester tiba, saatnya saya
bekerja full time, menyasar
pertokoan-pertokoan di sepanjang Malioboro, bersama seorang teman yang kini
sudah menjadi dosen pula di kampus yang sama, kami bekerja mengisi liburan
semester yang cukup panjang. Hal itu tak berhenti saya lakukan hingga suatu
hari jalan Tuhan menuntun saya mendapatkan beasiswa. Sejak itulah saya bisa
sedikit bernapas lega karena terbantu dengan beasiswa tersebut hingga lulus
kuliah dan meraih gelar sarjana.
Menunggu wisuda kala itu,
sekitar tahun 2013, saya banyak mengisi waktu dengan menulis, mulai dari cerpen
dan puisi. Terkadang, tulisan-tulisan itu saya ikutkan ke dalam lomba-lomba
yang saya temukan. Terkadang pula coba saya masukkan ke redaksi surat-surat
kabar. Saya juga mulai membuka platform tulisan di Hipwee dan menjadi kontributor di dalamnya. Pada tahun 2015, saya
aktif menulis di Hipwee. Saya pun
tidak pernah menyangka bahwa hasil tulisan saya di Hipwee bisa di-review
oleh puluhan ribu orang kala itu. Terima kasih, Hipwee, telah mengajari saya bagaimana menjadi seorang penulis yang
sesungguhnya, meskipun kini platform tersebut sudah jarang saya buka dan
beralih ke platform blog pribadi saya.
Kini saya telah
mengajar di salah satu SMP negeri yang ada di Yogyakarta. Sembari mengajar,
saya masih tetap aktif menulis. Bagi saya, menulis ibarat seorang teman yang
bersedia diajak mencurahkan segala keluh kesah yang saya rasakan. Bagaimana menjadi
seorang penulis yang hebat? Saya tidak pernah mempunyai mimpi sebagai seorang
penulis yang hebat, cukup menulis apapun yang sedang dipikirkan, kemudian
membagikannya kepada para pembaca. Tak perlu menjadi seorang yang hebat dalam
hal apapun, tapi lakukan apapun yang bisa dilakukan dengan cara konsisten,
cukup itu.
Dari sekian proses yang
terjadi dan saya alami sampai detik ini, saya belajar banyak hal, yaitu tentang
bagaimana kita bersabar menghadapi keadaan yang tidak mudah dan selalu bersyukur
terhadap apapun yang masih bisa kita nikmati. Maka, tiada satu pun nikmat Tuhan
yang bisa kita ingkari.
Seringkali kita merasa
bahwa sudah berdoa sedemikian rupa, tapi mengapa Tuhan belum juga
menjawab-jawab doa-doa tersebut? Tunggu dulu, jangan lantas menyalahkan Tuhan,
bisa jadi kita yang kurang bersabar. Tapi, bisa jadi pula Tuhan tidak
mengabulkan doa yang kita pinta lalu menggantinya dengan sesuatu yang lain,
yang tentunya jauh lebih baik. Tugas kita sebagai seorang hamba hanya berusaha
dan percaya bahwa suatu hari nanti, Tuhan akan menjawab apa yang kita pinta.
Semakin dewasa usia,
kini saya belajar menerima dengan penerimaan yang terkadang juga tidak mudah
untuk saya lakukan. Bahkan ketika apa yang saya minta tak kunjung tiba, saya
percaya bahwa Tuhan telah merencanakan sesuatu yang baik untuk saya, mungkin di
saat saya tidak mengiranya. Seperti rencana baik Tuhan di pertengahan tahun ini
untuk saya, setelah serentetan peristiwa kurang mengenakkan yang saya alami sepanjang
tahun, Tuhan menghadiahi saya beasiswa untuk melanjutkan pendidikan profesi
saya. Hal ini datang tanpa saya menduganya. Masyaallah,
maha besar kuasa Tuhan. Saya menjadi semakin yakin bahwa Tuhan adalah
sebaik-baik perencana. Dari sini saya belajar apa hakikat ilmu itu yang
sesungguhnya, ialah ketika kita mau terus belajar dalam penerimaan terbaik yang
Tuhan gariskan dan menjalani prosesnya dengan sabar dan bersyukur setelahnya. Saya
baru memahami apa yang dimaksud oleh dosen saya di awal tadi. Bahwa ilmu
bukanlah untuk sebuah prestise seperti
yang saya kemukakan dulu, melainkan sebuah proses panjang yang tidak mudah,
tapi dijalani dengan penuh rasa sabar. Maka kita pun akan bersyukur terhadap
apapun yang Tuhan berikan hari kemarin, hari ini, maupun hari-hari yang akan
datang. Kita masih punya pengharapan besar yang sudah Tuhan sediakan asalkan
tetap bersabar dan terus bertekun dalam doa, serta bersyukur untuk kemuliaan
dan penyertaan Tuhan.