Jumat, 26 Juni 2020

Belajar Sabar dan Syukur: Sebuah Proses Panjang yang tidak Mudah


Dulu, ketika masih awal kuliah, sekitar tahun 2009, dalam sebuah kelas diskusi, seorang dosen pernah bertanya,” Nak, apa yang hendak kamu cari dengan menuntut ilmu?” Lalu saya pun menjawab,” Tentu saja prestise, Bu.” Kemudian ibu dosen itu berkata lagi,” Nak, kalau kamu menuntut ilmu hanya demi prestise, tiadalah guna ilmu yang kau dapatkan itu. Tuntutlah ilmu dengan mulai menghargai setiap proses menuntut ilmu itu sendiri. Perkuat juga niat dan keyakinanmu, meskipun jalan itu terjal dan berliku. Niscaya engkau pun akan tahu hakikat sesungguhnya ilmu itu.” Saya pun merenungkan betul apa yang dosen saya katakan tersebut.

Suatu hari, saya membaca sebuah buku yang saya pinjam di perpustakaan untuk dipergunakan dalam salah satu mata kuliah sastra. Saya menemukan sebuah tulisan menarik yang intinya demikian: “Ketika masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah dunia. Seiring bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah. Maka cita-cita itu pun kupersempit. Lalu kuputuskan hanya mengubah negeriku. Namun tampaknya hasrat itu pun tiada hasilnya. Ketika usiaku semakin senja, dengan semangat yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang yang paling dekat denganku. Celakanya, mereka tak mau diubah. Sementara aku berbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari, andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan mungkin aku bisa mengubah keluargaku. Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi aku mampu memperbaiki negeriku. Kemudian siapa tahu aku bisa mengubah dunia.”

Tulisan yang saya baca tersebut rupanya masih cukup relevan dengan apa yang dikatakan dosen saya sebelumnya. Kembali, saya pun merenung. Waktu itu saya masih seorang mahasiswa baru di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Pengalaman yang saya dapatkan pun masih minim. Yang saya tahu dari kuliah itu sendiri adalah datang, melakukan presensi, kemudian menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Seiring berjalannya waktu, seiring pula dengan pergaulan saya dengan teman-teman yang semakin meluas, cara pandang saya pun perlahan mulai berubah. Saya mengambil waktu di mana saya melakukan refleksi diri terhadap apa yang sesungguhnya saya cari.

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia adalah program studi yang telah saya pilih dengan kemantapan hati, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. Mengapa demikian? Sastra adalah bidang yang memang saya minati, bahkan sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Keinginan saya mendalami sastra semakin besar manakala saya duduk di bangku kelas 2 SMP. Kebetulan saya diajar oleh seorang guru Bahasa Indonesia yang begitu menarik perhatian saya. Masih saya ingat, beliau tidak hanya fasih dalam mengajar, tetapi juga menulis. Bersama sang suami, sudah banyak tulisan bergenre sastra yang dihasilkan oleh beliau. Bahkan, beberapa di antaranya berhasil diterbitkan menjadi buku. Lalu terbersitlah dalam pikiran saya, suatu hari nanti, saya juga harus bisa menulis. Tidak sekadar menikmati sastra dengan membaca, tapi saya juga harus bisa menghasilkan tulisan-tulisan yang bisa dinikmati pula oleh orang lain. Siapa tahu, satu di antara tulisan-tulisan saya itu dapat pula menjadi inspirasi untuk orang lain. Itulah mimpi saya waktu itu.

Kembali ke masa perkuliahan saya tadi. Setelah berhasil masuk prodi bahasa dan sastra, saya pun bertekad meraih mimpi, meskipun ada harga mahal yang harus saya bayar: pengorbanan dan kerja keras. Saya menyadari bahwa saya tidak seperti teman-teman saya yang lain. Keterbatasan kedua orang tua saya yang hanya bekerja sebagai buruh pabrik, tak menyurutkan langkah saya, meski harus tertatih-tatih, saya tidak boleh berhenti di tengah jalan.

Masuk semester tiga, saya mengambil keputusan untuk bekerja paruh waktu demi meringankan biaya yang harus dikeluarkan orang tua saya. Maka, pagi hari pun saya kuliah, sore hingga malam hari saya bekerja. Semua saya lakukan, walau kadang ingin sekali rasanya saya menangis dalam hati. Namun ketika ingat wajah kedua orang tua saya, semangat ini pun kembali membara. Ketika liburan semester tiba, saatnya saya bekerja full time, menyasar pertokoan-pertokoan di sepanjang Malioboro, bersama seorang teman yang kini sudah menjadi dosen pula di kampus yang sama, kami bekerja mengisi liburan semester yang cukup panjang. Hal itu tak berhenti saya lakukan hingga suatu hari jalan Tuhan menuntun saya mendapatkan beasiswa. Sejak itulah saya bisa sedikit bernapas lega karena terbantu dengan beasiswa tersebut hingga lulus kuliah dan meraih gelar sarjana.

Menunggu wisuda kala itu, sekitar tahun 2013, saya banyak mengisi waktu dengan menulis, mulai dari cerpen dan puisi. Terkadang, tulisan-tulisan itu saya ikutkan ke dalam lomba-lomba yang saya temukan. Terkadang pula coba saya masukkan ke redaksi surat-surat kabar. Saya juga mulai membuka platform tulisan di Hipwee dan menjadi kontributor di dalamnya. Pada tahun 2015, saya aktif menulis di Hipwee. Saya pun tidak pernah menyangka bahwa hasil tulisan saya di Hipwee bisa di-review oleh puluhan ribu orang kala itu. Terima kasih, Hipwee, telah mengajari saya bagaimana menjadi seorang penulis yang sesungguhnya, meskipun kini platform tersebut sudah jarang saya buka dan beralih ke platform blog pribadi saya.

Kini saya telah mengajar di salah satu SMP negeri yang ada di Yogyakarta. Sembari mengajar, saya masih tetap aktif menulis. Bagi saya, menulis ibarat seorang teman yang bersedia diajak mencurahkan segala keluh kesah yang saya rasakan. Bagaimana menjadi seorang penulis yang hebat? Saya tidak pernah mempunyai mimpi sebagai seorang penulis yang hebat, cukup menulis apapun yang sedang dipikirkan, kemudian membagikannya kepada para pembaca. Tak perlu menjadi seorang yang hebat dalam hal apapun, tapi lakukan apapun yang bisa dilakukan dengan cara konsisten, cukup itu.

Dari sekian proses yang terjadi dan saya alami sampai detik ini, saya belajar banyak hal, yaitu tentang bagaimana kita bersabar menghadapi keadaan yang tidak mudah dan selalu bersyukur terhadap apapun yang masih bisa kita nikmati. Maka, tiada satu pun nikmat Tuhan yang bisa kita ingkari.

Seringkali kita merasa bahwa sudah berdoa sedemikian rupa, tapi mengapa Tuhan belum juga menjawab-jawab doa-doa tersebut? Tunggu dulu, jangan lantas menyalahkan Tuhan, bisa jadi kita yang kurang bersabar. Tapi, bisa jadi pula Tuhan tidak mengabulkan doa yang kita pinta lalu menggantinya dengan sesuatu yang lain, yang tentunya jauh lebih baik. Tugas kita sebagai seorang hamba hanya berusaha dan percaya bahwa suatu hari nanti, Tuhan akan menjawab apa yang kita pinta.

Semakin dewasa usia, kini saya belajar menerima dengan penerimaan yang terkadang juga tidak mudah untuk saya lakukan. Bahkan ketika apa yang saya minta tak kunjung tiba, saya percaya bahwa Tuhan telah merencanakan sesuatu yang baik untuk saya, mungkin di saat saya tidak mengiranya. Seperti rencana baik Tuhan di pertengahan tahun ini untuk saya, setelah serentetan peristiwa kurang mengenakkan yang saya alami sepanjang tahun, Tuhan menghadiahi saya beasiswa untuk melanjutkan pendidikan profesi saya. Hal ini datang tanpa saya menduganya. Masyaallah, maha besar kuasa Tuhan. Saya menjadi semakin yakin bahwa Tuhan adalah sebaik-baik perencana. Dari sini saya belajar apa hakikat ilmu itu yang sesungguhnya, ialah ketika kita mau terus belajar dalam penerimaan terbaik yang Tuhan gariskan dan menjalani prosesnya dengan sabar dan bersyukur setelahnya. Saya baru memahami apa yang dimaksud oleh dosen saya di awal tadi. Bahwa ilmu bukanlah untuk sebuah prestise seperti yang saya kemukakan dulu, melainkan sebuah proses panjang yang tidak mudah, tapi dijalani dengan penuh rasa sabar. Maka kita pun akan bersyukur terhadap apapun yang Tuhan berikan hari kemarin, hari ini, maupun hari-hari yang akan datang. Kita masih punya pengharapan besar yang sudah Tuhan sediakan asalkan tetap bersabar dan terus bertekun dalam doa, serta bersyukur untuk kemuliaan dan penyertaan Tuhan.


Senin, 22 Juni 2020

YANG LEPAS YANG TERHEMPAS: Catatan Perjalanan


Sebuah Review Catatan Awal Tahun 2020

 

Suatu sore di penghujung hari nan hujan, saya iseng membaca sebuah buku bertajuk “Kisah Lainnya: Catatan 2010-2012” buah pena salah satu band yang saya favoritkan sejak duduk di bangku kelas dua SMP hingga kini saya sudah beranjak dewasa dan mengajar pula di kelas dua SMP. Satu kebetulan yang tak terkira.

Saya masih ingat betul bagaimana dulu pertama mengidolakan band beranggotakan enam personil yang bernama “Peterpan” ini. Sepanjang perjalanan study tour ke Bandung, sekitar tahun 2004-2005, lagu-lagu grup band ini mengalun dengan indah di telinga saya dan kawan-kawan, menghilangkan segala kepenatan yang melanda. Awalnya, saya tidak tahu siapa dan bagaimana itu Peterpan. Namun, setelah lagu-lagu tersebut dinyanyikan dengan lancar oleh kawan-kawan, saya baru mulai tertarik dengan Peterpan. Bus pun melaju dari Jogja ke Bandung dengan penuh suka cita. Masih terngiang dengan jelas lagu-lagu dengan judul “Ada Apa Denganmu”, “Mimpi yang Sempurna”, “Kukatakan dengan Indah”, “Sahabat”, “Aku dan Bintang”, “Topeng”, “Semua tentang Kita” serta masih banyak lagi lagu-lagu lainnya. Semua larut menyanyikan lagu-lagu tersebut. Saya sendiri heran bagaimana kawan-kawan saya begitu lancarnya menghafal lirik dalam lagu-lagu tersebut, seolah liriknya begitu familiar di telinga. Karena termasuk orang yang tidak percaya diri dalam bernyanyi, saya memilih diam sembari menikmati lagu-lagu tersebut.

Sepulang dari study tour, saya pergi ke sebuah pasar tradisional. Lalu menelusuri satu per satu toko kaset untuk menemukan apa yang saya cari, lagu-lagu dari band Peterpan. Dan ketemulah apa yang saya cari. Saya pulang dan menyalakannya. Sejak saat itu pun saya menjadi tertarik dengan band yang beranggotakan enam orang pemuda dari Kota Bandung tersebut.

Perjalanan memang tidak selalu seiring dan setujuan. Begitu pula dengan band favorit saya. Lika-liku perjalanan dan pasang-surut performa band bernama Peterpan (sebelum berganti nama menjadi Noah) tersebut cukup menarik dan senantiasa saya ikuti. Hingga suatu ketika, mereka meluncurkan sebuah buku. Buku ini adalah kumpulan catatan perjalanan masing-masing personilnya dari awal band terbentuk hingga masih eksis berdiri hingga kini.

Pada salah satu halaman buku tersebut, saya menemukan sebuah kata-kata motivasi yang menyentuh batin saya. Bunyinya demikian:

Pada saat masalah menghampirimu, janganlah berkecil hati

Itu adalah pasangan hidupmu

Itu adalah takdirmu

Sesuatu yang sudah dipersiapkan untukmu, bahkan sebelum kau dilahirkan

Itu adalah pelengkap hidupmu

Itu adalah gurumu, maka cintailah dia

 

Penilaian Tuhan tidak dimulai saat kau menerimanya

Karena semua orang akan menerimanya, tanpa terkecuali

Selayaknya seperti orang-orang sebelummu

 

Jangan pernah berusaha menolak kesalahanmu

Terimalah itu sebagai bekalmu, untuk perjalanan panjangmu

Justru kesalahanmu dimulai ketika kau menolak menerima kesalahanmu

Sedangkan kau menyadarinya

 

Lapangkanlah dadamu

 

Ada banyak motivasi yang bisa saya ambil dari buku tersebut, tentang bagaimana kita memaknai berbagai permasalahan yang mendera dalam hidup dan bagaimana kita bersikap untuk kemudian bangkit dari permasalahan tersebut. Sangat menginspirasi.

 Hidup adalah tentang sebuah penerimaan. Karena hakikatnya, tak ada yang benar-benar sempurna. Ketika yang dicari dalam hidup hanyalah sebuah kesempurnaan, maka saat kau merasa bahwa kau telah mendapatkan satu kesempurnaan, kau pun akan terus memburu kesempurnaan-kesempurnaan yang lain. Dan itu tidak akan pernah berhenti. Kau pun tak akan pernah merasa cukup. Lain halnya ketika yang kau cari dalam hidup adalah sebuah penerimaan, entah itu baik atau buruk, kemudian kau belajar dari itu dan memahami hakikat baik dan buruk tersebut, maka sesungguhnya kaulah kesempurnaan itu.

Kita harus menyadari, bahwa tak ada yang baik nyata-nyata adalah baik. Pun begitu dengan buruk, tak ada yang nyata-nyata buruk. Baik dan buruk itu hanya tentang nilai rasa. Sebab, apa yang dipandang baik, belum tentu sesungguhnya adalah baik. Begitu pula sebaliknya, apa yang dipandang buruk, belum tentu sesungguhnya adalah buruk.

Kualitas dalam diri kita ditunjukkan dengan cara belajar dan bekerja keras. Seperti apapun masa lalu, bahkan ketika kau dipandang sebagai sesuatu yang sangat buruk di mata orang lain, tapi kau mau belajar dan ikhlas, kemudian bangkit dan bekerja keras, maka bisa jadi suatu hari nanti kau adalah pribadi yang sangat mengagumkan. Pembalasan diri terbaik adalah ketika kau bisa menunjukkan kepada mereka, bahkan kepada dunia bahwa kau tumbuh dengan hebat karena apa yang telah terjadi dan bagaimana kau melalui lalu bangkit menjadi versi yang berbeda dengan dirimu sebelumnya. Kau telah melampaui apa yang bahkan sebelumnya tak pernah ada dalam bayanganmu, juga bayangan semua orang.

Semua orang pernah diuji, bahkan dengan hal paling pahit sekalipun dalam hidup. Kadang, di luar sana, kau dapat melihat orang-orang yang sangat mengagumkan dan memiliki karya-karya yang luar biasa. Kemudian mereka dipuji banyak orang karena ‘karya emas’ tersebut. Tapi tahukah kau bahwa di balik itu semua, merekalah orang-orang yang pernah sakit sesakit-sakitnya, bahkan jatuh sejatuh-jatuhnya? Lalu, mengapa hari ini mereka tumbuh dengan begitu hebat? Itu karena mereka menjadikan pengalaman di masa lalu sebagai sebuah cambuk untuk bangkit dan melakukan perubahan, hingga yang kau lihat hari ini adalah mereka orang-orang hebat yang tampil dengan begitu menakjubkannya.

Apapun permasalahan yang pernah menderamu, entah itu dulu atau yang kau temui hari ini, percayalah bahwa kau bisa melalui semua ini. Kau hanya butuh untuk menerima dan mengikhlaskannya. Lalu tumbuhlah seperti orang-orang tersebut. Jadikan apapun masalah dalam dirimu sebagai sebuah dorongan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Guru terbaik adalah masa lalu. Dan pengalaman terhebat adalah proses yang bisa kau lalui untuk bangkit dan berdiri hingga saat ini. Lalu kau pun akan menemui versi terbaik dari dirimu suatu hari nanti.


Cerpen "Penghujung Senja"

Kilau emas sang surya yang belum bangun dari tidurnya membuat gradasi biru dan jingga yang membias cakrawala. Venus, si bintang fajar, masih terlihat di ufuk timur dengan begitu jelas. Beberapa bintang masih berkedip-kedip mengeluarkan cahaya putih nan memukau. Namun, semua itu lenyap seketika, terhempas oleh sinar mentari yang mulai beranjak menuju singgasana. Maka usailah pemandangan yang memukau tersebut.

Pagi hari, tatkala libur tiba seperti ini, aku dan teman-teman biasanya sudah pergi bermain ke tanah lapang, memainkan permainan tradisional seperti ular naga, engklek, egrang, lompat tali, petak umpet, dan lain-lain. Tapi sepekan terakhir ini aku dan teman-teman sudah tak bisa melakukan hal seperti itu lagi. Semua telah berakhir. Sama halnya dengan pemandangan langit yang hilang diterpa sinar matahari. Tempat bermain kami sudah berubah menjadi susunan batu bata yang keras dan tinggi. Ladang-ladang kami juga sudah hancur diporak-porandakan alat-alat berat. Entah pagi, siang, senja, maupun malam, kampungku terus dibisingkan oleh suara isak tangis warga yang kehilangan lahan perkebunan sekaligus mata pencahariannya.

Sebulan lalu, datanglah seorang pria tegap, pendek, berkemeja putih bersih sembari membawa kertas-kertas berisi dokumen penting yang dijaga ketat oleh dua orang berkacamata hitam, bertubuh kekar, dan tinggi. Mereka datang ke kantor kepala desa. Rupanya, mereka adalah kontraktor yang akan menangani proyek pembangunan perumahan-perumahan elite di kawasan ini. Maka para warga harus rela direlokasi ke tempat yang telah disediakan demi kelancaran pembangunan yang telah ditetapkan. Mereka hanya memberi waktu tiga minggu bagi kami untuk pindah.

Hari semakin siang. Aku masih terbaring di atas ranjang. Sedih rasanya memikirkan nasib kampungku ini yang sebentar akan disulap menjadi bangunan-bangunan mewah dengan fasilitas penunjang yang serba modern. Aku melihat atap-atap rumah kecilku yang telah dipenuhi lumut-lumut kering. Apakah mereka tega merenggut harta kecil yang kupunya ini? Tiba-tiba kudengar suara teman-teman yang menghampiriku. Aku pun keluar meninggalkan kamar. Kubuka pintu rumah. Sinar mentari begitu terik, menyengat kulit.

“Ada apa teman-teman?”

“Ayo ikut kami!” sahut salah seorang temanku.

“Untuk apa?”

“Sudahlah, jangan banyak bertanya. Ikut saja, nanti kau akan tahu sendiri.”

Aku pun berjalan gontai mengikuti mereka. Setapak demi setapak jalan kutelusuri.

“Lihatlah truk-truk itu! Sawah ladang kita sudah dipenuhi bahan bangunan,” teriak salah satu temanku kemudian.

Mataku melirik ke arah yang ditunjuknya. Kulihat pondasi-pondasi bangunan mulai dikerjakan. Di beberapa bagian, batu bata bahkan sudah tersusun dengan rapi di atas pondasi tersebut. Rupanya pembangunan proyek perumahan mewah itu benar-benar dimulai. Tak ada lagi pohon-pohon yang tersisa. Semua dibabat habis oleh pemborong yang membangun lahan itu. Udara terasa gerah dan panas. Air sungai yang mengalir di sekitar sawah ladang kami telah berubah dari yang semula jernih dan bersih menjadi kotor dan tercemar sehingga ikan-ikan kecil penghuninya pun mati. Alat-alat berat ada di mana-mana, membantu proses mereka mengubah desa kami yang semula sejuk menjadi gersang.

Kukira, kami telah salah dalam memilih pemimpin. Mana janji-janji mereka saat berkampanye dulu? Mana bukti dari kata-kata yang akan menyejahterakan rakyat? Semua itu ternyata hanya ilusi semata. Tiada satu pun ucapan mereka yang menjadi nyata. Hasrat negeri ini untuk merdeka seutuhnya tak akan bisa tercapai selama rakyat kecil masih tertindas oleh kepentingan orang-orang yang lebih berkuasa.

Aku dan teman-teman tak bisa menemukan tempat bermain kami lagi. Sepanjang jalan yang kulintasi, aku bahkan terus meneteskan air mata. Memori masa kecil di mana tempat kami bergurau, bermain-main, dan saling berbagi kebersamaan sudah dipendam oleh proyek-proyek raksasa yang telah disetujui pemerintah. Angin menderu, menyapu debu-debu yang beterbangan. Hanya satu kenangan yang masih tersisa, papan ayunan kayu yang terbelah menjadi dua, tertimpa besi-besi besar. Air mata pun kian deras membanjiri pipi. Teman-teman memeluk diriku. Kami menangisi kenangan yang telah mati satu per satu. Kemarin, mimpi kami untuk bersekolah di sekolah-sekolah favorit telah pupus oleh peraturan sistem zonasi yang ditetapkan pemerintah. Lantas, esok apa lagi yang akan kembali pupus di hadapan kami? Andai aku adalah orang yang berkuasa, akan kubuat anak-anak bisa menikmati masa kecilnya dengan bahagia hingga tiada lagi tetesan air mata.

Tiba-tiba, datang sekumpulan warga kampung sembari membawa alat-alat seadanya, tapi berukuran cukup besar. Bapak-bapak, ibu-ibu yang membawa anak-anaknya, bahkan orang-orang yang telah lanjut usia pun bergabung menjadi satu. Mereka datang dengan menuntut keadilan, tak terima jika tanahnya harus digusur demi pembangunan. Spanduk-spanduk besar berisi tulisan “Kembalikan tanah kami” terpampang di mana-mana. Air mata kami terus bercucuran. Walau bagaimanapun, tanah ini telah dihuni kami selama puluhan tahun. Apakah orang-orang yang berkuasa itu tak bisa luluh hatinya melihat dan mendengar tangisan kami?

“Kembalikan tanah kami!” ucap salah satu warga dengan berapi-api.

“Jangan hancurkan rumah kami!” ucap salah seorang nenek pada si pria pendek yang turut menyaksikan aksi kami.

“Kami sudah mengganti seluruh kerugian dengan menyediakan rumah susun bagi kalian!” ujar si pria pendek kemudian.

“Itu tak akan cukup bagi kami. Bagaimana kami bisa bekerja tanpa sawah dan ladang kami?” tanya salah seorang warga yang lain.

“Kalian akan mendapatkan pelatihan yang mumpuni untuk dapat bekerja maupun membuka lapangan pekerjaan sendiri. Pembangunan rusun juga akan dilengkapi dengan fasilitas yang memadai. Kalian mau meninggalkan lahan ini dengan sukarela ataupun terpaksa, kami tetap akan merelokasi dan membangun tempat ini. Sudah menjadi keputusan pemerintah pula hal ini!” ucap si pria berbadan pendek sembari menunjukkan surat keterangan dari pemerintah terkait relokasi warga di daerah ini.

Kami pun tak punya pilihan lain. Apa daya, rakyat kecil selalu saja tersingkirkan oleh kepentingan penguasa. Maka kami menghentikan aksi ini dan kembali ke rumah sembari mengemasi barang-barang kami, meninggalkan kampung kecil ini, dan beranjak ke rumah-rumah susun, meski fasilitas di rusun tak seindah yang dijanjikan.

Senja kembali menguasai cakrawala. Hari akan segera berakhir. Semua harapan kami juga telah mati seiring berakhirnya hari. Para warga termasuk keluargaku pun meninggalkan kampung kami yang sangat berharga. Ini harta kami satu-satunya. Biarlah kami relakan ini semua demi pembangunan dan kepentingan penguasa. Satu pintaku, semoga ke depannya tak ada lagi orang-orang yang mengalami nasib serupa, cukup kami saja.

 

---Selesai---


Puisi "Aku dan Masa Depan"

Kakiku terus melangkah

Walau jalanku tak tentu arah

Jejak-jejak kelam di masa silam

Terus terngiang dan menghantam

 

Ada kerikil dan batu besar

Ada kebimbangan yang harus kutakhlukkan

Namun kuberlari

Mencoba terus melepaskan diri

 

Asaku membawa pada satu titik pencerahan

Menuju jembatan-jembatan kedamaian

Menghadapi retorika kehidupan

Masa depan ada dalam genggaman

 

Hujan tak menghentikan langkahku

Peluh terus mengucurkan semangatku

Doa sebagai pelita di hatiku

Keberhasilan menjadi impianku

 

Takdir sudah dituliskan

Berjuang walau berat dilakukan

Keyakinan dipupuk perlahan

Menggapai masa depan dengan penuh harapan


Puisi "Perempuan Tangguh"

Kerutan di pelipis wajah menandakan tak muda lagi usiamu

Keringat yang bercucuran di tubuh menandakan betapa keras perjuangan dalam hidupmu

Langkah gontai yang menyertai menandakan sungguh besar pengorbananmu

 

Tangan lembut itu yang selalu menyentuhku

Menyambutku dengan segenap kasih sayang

Engkau berikan sandaran di tengah ketidakberdayaanku menghadapi kerasnya dunia

 

Waktu terus berlalu

Engkau terus berdiri di belakangku

Membimbingku menjadi wanita tangguh yang tak mudah runtuh

 

Cinta yang kau berikan memberi aku kekuatan

Ketulusan yang kau curahkan menjadi pegangan

Dekapan eratmu menjadi tumpuan tempatku bertahan

 

Tatkala kaki ini lelah dalam melangkah

Engkau bangkitkan kembali kepercayaan diriku

Walau kutahu, kau pun sesungguhnya lebih lelah dariku

 

Namaku yang selalu kau panjatkan di hadapan Sang Pencipta

Menggema hingga ke angkasa raya

Memantik pengharapan baru demi kesuksesan dalam hidupku

 

Dalam doaku kau menjelma menjadi pelita

Yang selalu menyinariku dengan cahaya kasih sayang yang tercurah

Aku akan selalu mencintaimu wahai perempuan tangguh yang kusebut ibu


Rabu, 10 Juni 2020

Cerpen "Aku Ingin Sekolah"

(Cerpen kolaborasi dengan Muhammad Rizki Oktavian, SMPN 1 Sewon, 2018)

Tumpukan berkas menghiasi meja kerjaku. Betapa lelah aku hari ini. Baru saja seorang client keluar dari ruangan. Menjadi pemimpin perusahaan rupanya tak semudah yang kubayangkan. Persiapan rapat dan seminar lusa membuatku kelabakan sepekan terakhir. Aku memang seorang pimpinan, tapi bukan berarti bisa terus menyandarkan diri di kursi putar. Udara yang kehembuskan keluar melalui mulut. Benakku rasanya terombang-ambing. Hanya berkas-berkas yang terus beterbangan dalam pikiran. Jangan sampai penat terus menggelayut. Jika aku saja seperti ini, lantas bagaimana dengan karyawan-karyawanku?

Sofa rasanya bisa menjadi penangkal penat sementara ini. Aku duduk berselonjor sembari mendongakkan kepala. Ternit seputih susu dengan hiasan gipsumnya tampak memukau, menenangkan mata sehingga jenuh pun perlahan sirna.

Sinar senja diam-diam menerobos kaca, merambat lewat udara, menerpa wajah, dan menyilaukan mata. Kudekati jendela gedung nan kokoh berdiri di antara gedung-gedung pencakar langit lainnya. Kuusap debu-debu yang menghalangi pandangan. Dari atas kejauhan, jalan-jalan masih tampak ramai. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Burung-burung melintasi cakrawala yang bergradasi jingga dan kuning. Mereka hendak kembali ke sarang. Kicauannya pun bersahut-sahutan.

Senja ini begitu teduh. Fatamorgana yang muncul di siang yang haus sudah tak kelihatan lagi. Semilir angin pun begitu terasa menerpa wajah ketika aku sampai di pelataran kantor. Beberapa karyawan yang kebetulan berpapasan membungkukkan badannya padaku. Aku pun tersenyum dan melambaikan tangan pada mereka. Tak berapa lama, sebuah mobil pun menghampiriku.

Membelah jalanan kota yang padat di setiap jam pulang kerja seperti ini sudah biasa bagiku. Aku berdiam diri selama berjam-jam di dalam mobil seperti ini sembari menyaksikan pemandangan kanan dan kiri yang penuh dengan kendaraan. Aku juga sering menyaksikan banyak pengamen jalanan yang tengah mengais rezeki di antara kemacetan. Mereka menghampiri mobil demi mobil, berharap mendapatkan receh demi receh rupiah. Tiba-tiba, mataku menangkap pemandangan tiga orang anak kecil yang berlari-larian sembari membawa karung bermuatan barang-barang bekas. Tak ada kesedihan di raut wajah mereka. Tawa kecil sesekali muncul di wajah mereka yang polos. Mereka mengingatkanku akan satu hal, masa kecilku.

Saat itu, bukan gedung pencakar langit yang tinggi tempat tinggalku, melainkan sebuah gunung. Gunung ini bukanlah berasal dari sekumpulan pasir dan bebatuan. Tak pula berisikan lava merah panas enzim-enzim yang ada di perut bumi pada umumnya, tetapi tumpukan sampah yang menjadi satu. Lendir-lendir yang dikeluarkan bakteri saat memakan sampah organik mengering ketika diterpa seberkas sinar terik dari sang surya, menciptakan gundukan sampah kokoh yang menyerupai nasi tumpeng. Tapi aroma gundukan sampah ini tak sesedap aroma nasi tumpeng. Tatkala angin menyapu, bau sampah-sampah itu pun terseret dan menjadi satu dengan udara sehingga terasa menusuk hidung.

Memang, ini adalah gunung sampah biasa. Tapi bukan berarti gunung sampah ini tak mempunyai kemampuan untuk meledakkan diri layaknya gunung yang sebenarnya. Bakteri-bakteri yang ada di dalamnya mampu mengurai dan mengubah zat-zat organik menjadi ribuan bayi metana. Jika metana-metana ini terus menumpuk, maka akan terjadi letusan dahsyat seperti yang pernah terjadi di beberapa TPA.

Truk-truk sampah ada di mana-mana, mengantarkan imigran sampah dari perkotaan besar menuju kawasan ini. Kulihat akhir-akhir tahun belakangan ini semakin banyak sampah yang berdatangan. Truk-truk tersebut juga datang dengan menggotong bau-bau yang memabukkan. Bagaimana tidak menumpuk dan terus menjadi gunung jika sampahnya saja terus berdatangan. Saat hujan turun pun tanah menjadi becek. Para sampah akan berenang ke mana-mana mengikuti genangan air. Ketika hujan reda, tanah pun menjelma menjadi lumpur. Lalat-lalat berpatroli di setiap tempat. Di mana ada sesuatu yang berbau amis dan busuk, di situlah mereka akan mengerumun.

Di sebuah sudut TPA ini terdapat sepetak tanah yang di atasnya berdiri sebuah susunan kardus beratapkan seng besi yang berkarat. Celah-celah kecil yang dibuat oleh karat membuat kami terkadang harus tidur berteman tetes demi tetes air ketika hujan mengguyur. Rumah ini hanya beralaskan kardus. Tapi setidaknya ini lebih baik bagi kami daripada tidur di kolong jembatan. Dan rumah kardus kecil inilah tempat tinggalku bersama ayah dan ibu.

Di keluarga kecil ini, aku merupakan anak tunggal. Ayah dan ibuku bekerja sebagai pengumpul sampah-sampah yang masih bisa didaur ulang. Aku tak malu meski keadaan keluargaku seperti ini adanya. Ayah dan ibu adalah pemberi kehidupanku. Usiaku beranjak sepuluh tahun. Namun aku tetap belum bisa menikmati bangku sekolah. Setiap hari ulang tahunku tiba, aku hanya bisa meminta kepada Tuhan akan hasratku menikmati dunia pendidikan seperti anak-anak yang lain. Dari dulu sampai sekarang, impianku hanya satu. Sekolah. Karena keterbatasan biaya, impian itu hanya sebatas angan-angan yang terus saja kupendam.

Setiap hari, ketika matahari sudah beranjak ke peraduannya, aku memulai aktivitasku. Dengan bekal sebuah karung goni dan tali, aku mendaki gunung-gunung sampah. Terkadang aku juga berjalan dari satu gang ke gang lain untuk mencari sampah-sampah yang lain dan mengurangi rasa penatku. Gang-gang sepi seringkali kutemui. Namun itu tak membuat gentar hatiku. Sembari bersenandung kecil, aku mulai memunguti setiap sampah demi sampah lalu memasukkannya ke karung goni yang telah kupersiapkan. Saat karung yang kugotong sudah mulai membesar perutnya, kucukupkan waktu memunguti sampah pada hari itu. Jika masih tersisa waktu, aku biasanya datang ke sebuah sekolah dasar yang tak jauh dari tempat tinggalku. Ini adalah kesempatanku melihat kegiatan sekolah anak-anak SD.

Di depan dinding gapura SD, aku mengintip apa saja yang dilakukan anak-anak seusiaku saat bersekolah. Kemudian mataku beralih ke salah satu kelas. Di sana tampak seorang guru tengah memberi penjelasan. Beberapa siswa kulihat  tiada yang bisa diam, terutama siswa laki-laki. Bukannya mendengarkan penjelasan guru, mereka malah asyik mengobrol dengan teman sebangku. Geram sekali rasanya tiap kali aku melihatnya. Gigiku sampai terus bergesekan karena kesal melihat perilaku anak-anak itu. Jika aku menjadi mereka, tak akan kusia-siakan kesempatan bisa bersekolah seperti ini.

Tak sengaja, aku memukul gerbang sekolah sehingga menimbulkan bunyi yang keras. Rupanya, seorang anak dari kelas itu melihatku. Terpaksa aku harus segera pergi dari sekolah ini agar tidak menciptakan keributan. Meski aku hanya bisa melihat kegiatan belajar di sekolah, suara guru yang lantang hingga terdengar ke telingaku mampu membuatku mengerti beberapa materi di pelajaran dasar. Aku beranjak pulang, meninggalkan materi yang belum sempat terselesaikan meski dengan berat hati. Hasratku untuk bisa bersekolah semakin tinggi. Tapi mau bagaimana lagi. Perlahan, kuseret kakiku untuk pergi.

Aku terus termenung di sepanjang jalan, memikirkan cara bagaimana bisa bersekolah sampai-sampai tak melihat ada batu di depanku. Kakiku tersandung batu itu hingga sampah-sampah yang ada dalam karung goniku keluar berhamburan di pinggir jalan. Saat aku tengah memberesi sampah-sampah tersebut, tampak sebuah map berwarna biru di antara sampah-sampah yang lain. Karena penasaran, aku pun membuka isi map tersebut. Ternyata ada berkas-berkas milik sebuah perusahaan. Aku yakin, ini adalah berkas penting perusahaan tersebut. Aku pun bergegas memberesi isi karung goniku dan buru-buru pulang.

“ Assalamualaiku, Bu!” sapaku pada ibu ketika telah sampai di rumah.

“ Waalaikumsalam. Kamu dari mana saja, kok baru pulang?”

“ Seperti biasa, Bu, aku mampir ke sekolah dulu.”

“ Oh... itu apa yang kamu bawa, Nak?”

“ Ini tadi kutemukan di antara tumpukan sampah-sampah yang kudapatkan hari ini, Bu!” ucapku sembari memberikan map tersebut pada ibu.

“ Sepertinya ini berkas yang penting, Nak.”

“ Aku pikir juga begitu, Bu.”

“ Kalau begitu, kamu harus mengembalikan pada pemiliknya!” pinta ibu.

“ Aku harus mengembalikan ke mana, Bu?” tanyaku tak mengerti. Aku dan ibu pun akhirnya mencatat alamat perusahaan yang tertera pada berkas tersebut.

Keesokan harinya, diantar ayah, aku datang ke alamat perusahaan itu, membawa map berisi berkas tersebut, dan akan mengembalikannya. Begitu sampai di halaman depan, kami dicegat oleh seorang satpam berperawakan tinggi besar. Ia menanyai maksud dan tujuan kami datang. Lalu ayah pun menjelaskan semuanya pada satpam tersebut yang kemudian menyuruh kami masuk dan menunggu di sebuah lobi.

Perusahaan ini sangat besar. Lobi perusahaannya pun sangat mewah. Arsitekturnya juga sangat indah. Begitu masuk dari pintu depan tadi, dingin seketika menjalar di seluruh tubuhku. Rupanya, di sudut-sudat ruang terpasang sebuah benda yang entah aku pun tak tahu namanya. Dengan benda tersebut, udara menjadi dingin. Aku begitu terpukau. Belum pernah aku menginjakkan kaki di tempat sebagus ini. Mataku memandang sekeliling. Orang-orang berdasi tampak keluar-masuk di perusahaan ini. Mereka semua berpakaian rapi dari atas ke bawah, tidak seperti aku dan ayah yang hanya berpakaian kumal dan bersandal jepit.

Tak berapa lama, seorang resepsionis perusahaan tersebut mempersilakan kami masuk ke sebuah ruangan. Di dalam ruangan, tampak seseorang yang berperawakan tinggi dan besar. Meski begitu, ia terlihat sangat berwibawa. Awalnya, aku merasa takut. Namun, orang tersebut mempersilakan kami duduk. Di depan mejanya tertera tulisan nama dan jabatan. Rupanya, ia adalah direktur utama perusahaan ini. Namanya Jamal.

“ Maaf, kami mengganggu waktu Bapak. Kami hanya ingin mengembalikan map ini. Kemarin kami menemukannya. Sepertinya ini berkas penting,” ucap ayah seraya memberikan map tersebut kepada Pak Jamal. Pak Jamal pun membuka map tersebut.

“ Ini kan berkas-berkas penting yang selama ini saya cari. Bagaimana kalian bisa menemukannya?” tanya Pak Jamal kemudian.

“ Saya kemarin menemukannya di antara sampah-sampah yang saya kumpulkan, Pak! Kata ibu, ini harus dikembalikan pada pemiliknya. Lalu kami datang sesuai alamat yang tertera pada tulisan di situ,” aku menjawab pertanyaan Pak Jamal.

“ Saya sudah mencarinya ke mana-mana selama ini. Dan sekarang, kalian datang ke mari mengantarkan apa yang selama ini saya cari. Terima kasih banyak,” ucap Pak Jamal sembari menjabat tangan ayah dan tanganku. Kemudian Pak Jamal mengambil sebuah amplop kecil dan menyerahkannya padaku. “ Ini tidak seberapa, tapi sebagai tanda terima kasih saya. Terimalah!”

“ Tidak, Pak! Terima kasih. Tapi kami ikhlas menolong Bapak,” kata ayah kemudian.

“ Kalian yakin?” tanya Pak Jamal meyakinkan.

“ Iya, Pak!” jawab ayah mantap. Pak Jamal mengangguk dan kami pun berpamitan setelah menjabat tangan Pak Jamal.

“ Tunggu, Nak!” seru Pak Jamal sesaat sebelum kami meninggalkan ruangannya. “ Berapa usiamu?”

“ Sepuluh tahun, Pak!”

“ Kamu sekolah di mana?”

“ Saya tidak sekolah, Pak. Sehari-hari saya membantu ayah dan ibu mencari sampah-sampah yang masih bisa dijual.”

“ Lalu, di mana kamu tinggal?”

“ Di sebuah rumah kecil tidak jauh dari TPA Glagah, Pak!”

“ Hmmm.. jadi sehari-hari kamu ikut bekerja dengan kedua orang tuamu hingga tidak bisa bersekolah ya?”

“ Iya, Pak!” jawabku sedih.

“ Kalau begitu, maukah kamu mulai bersekolah? Masalah biaya tidak usah khawatir, nanti saya yang akan membiayai sekolah kamu. Anggap saja ini bentuk terima kasih saya atas apa yang telah kamu dan ayahmu lakukan pada saya. Namun, kamu ikutlah bersama saya agar masa depanmu lebih terjamin. Bagaimana?” tanya Pak Jamal sembari tersenyum.

Aku terdiam seribu bahasa. Tak tahu harus berkata apa. Aku hanya bertatapan dengan ayah. Pak Jamal memberi kami waktu untuk berpikir sampai esok hari. Di tengah perjalanan, aku terus termenung memikirkan kata-kata Pak Jamal. Aku bingung. Satu sisi, ini adalah impian yang selama ini aku nantikan. Namun di sisi lain, apakah aku rela meninggalkan ayah dan ibu untuk ikut bersama Pak Jamal?

Setibanya di rumah, aku dan ayah menemui ibu. Lalu ayah menceritakan segalanya pada ibu.

“ Pergilah, Nak! Ibu rela melepasmu agar bisa meraih cita-citamu.”

“ Tapi aku tidak bisa jauh dari ayah dan ibu,” ucapku kemudian.

“ Kamu masih bisa mengunjungi ayah dan ibu kalau kamu rindu. Esok, temuilah Pak Jamal dan persiapkan masa depanmu dengan gemilang. Doa ayah dan ibu akan selalu ada untuk kesuksesanmu!” ibu pun memeluk diriku. Aku membalas pelukan ibu dengan sangat erat.

Keesokan harinya, aku kembali menemui Pak Jamal. Aku bersedia pulang bersama ke rumah Pak Jamal. Rumah itu sangat megah, jauh berbeda dengan rumah kecilku. Hari itu, aku memulai lembar-lembar kehidupanku yang baru sebagai anak angkat dari Pak Jamal dan istrinya yang hingga kini belum dikaruniai seorang anak. Aku mulai menggapai mimpi yang segera menjadi nyata. Benar saja, tak lama berselang, aku mulai bersekolah. Untuk mengejar ketertinggalanku selama ini, Pak Jamal pun mendatangkan guru privat setiap harinya untukku.

Hari demi hari pun kulewati dengan belajar. Hal itu pun berbuah manis lewat prestasi demi prestasi yang terus kutorehkan. Melihat hal itu, Pak Jamal semakin bangga padaku. Ketika memasuki bangku kuliah pun, aku mendapat beasiswa pendidikan ke luar negeri. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Aku berangkat dengan dukungan penuh dari ayah dan ibu angkatku. Mereka sangat menyayangiku. Sekembalinya dari luar negeri, Pak Jamal pun memberi kepercayaan penuh padaku untuk menggantikan posisinya di perusaan miliknya. Dan tanggung jawab sebagai pemimpin perusahaan terus aku emban hingga detik ini.

Hari mulai gelap saat aku mulai menyadari bahwa aku termenung sedari tadi sembari terus menggali masa laluku. Dua puluh tahun yang lalu aku sama dengan anak-anak itu, bekerja mengumpulkan barang-barang bekas yang sudah tak terpakai lagi. Aku pun berharap mereka kelak juga bisa menggenggam erat masa depannya yang gemilang. Dan inilah akhir kisahku. Sebuah kisah masa lalu di mana saat itu aku begitu ingin sekolah.

 

---selesai---



catatan:
Cerpen ini telah dibukukan dan memenangkan lomba cipta cerpen tingkat provinsi sebagai juara pertama yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta, 2018.

Cerpen "Anak-anak Jalanan yang Ingin Sekolah"

 (sebuah cerpen kolaborasi dengan Muhammad Rizki Oktavian SMPN 1 Sewon, Bantul 2018)


Matahari bersinar terik hari ini. Aku menaiki tangga menuju ruang kelas yang ada di lantai paling atas. Sebenarnya ada lift untuk menuju ke lantai atas. Namun, aku lebih suka menapaki ratusan anak tangga setiap hari. Di tangga, ada keistimewaan tersendiri. Sering kulihat panorama Kota Surabaya dari atas ketinggian. Tak jarang, kulihat anak-anak jalanan yang berlarian ke sana ke mari entah untuk apa. Mungkin untuk mengais rezeki atau sekadar bercengkrama.
Aku sempat merasa bingung, mengapa pendidikan di Indonesia belum merata. Ke manakah janji-janji para pemimpin saat berkampanye? Apakah mereka hanya menggunakan kata-kata manis untuk meminang hati rakyat? Semua itu tak berbuah bukti sedikit pun. Mereka yang menjanjikan kenikmatan pendidikan kepada rakyat jelata hanya berdusta. Aku tak bisa menutup mata dari kenyataan yang ada.
Langkah kakiku pun terhenti di tangga terakhir. Aku bergegas masuk kelas karena guru sejarah tepat berada di belakangku. Kuletakkan tas di bangku sebelah jendela seperti biasa. Entah mengapa, aku selalu ingin di situ, serasa ada magnet yang terus menarikku.
Guru sejarah mulai menerangkan materi tentang manusia purba. Ah, aku sungguh tak suka dengan materi itu. Pandanganku justru terpusat pada jendela guna menghadapi kebosanan ini. Aku sering mendengar sayup-sayup teriakan. Konon, kata tukang kebun di sini, itu adalah teriakan arwah Letnan militer Belanda yang terbunuh saat peperangan dengan Bung Tomo dulu. Tetapi pernyataan itu aku sangkal. Setelah melihat lebih tajam lagi, ada beberapa tangan yang berpegangan pada pagar balkon yang ditumbuhi lumut di samping kelasku. Tangan-tangan itu hitam legam. Banyak bekas luka yang menggoresi punggung tangan maupun jarinya.
Pandanganku semakin kutujukan ke arah tangan-tangan itu. Semakin lama, kepala pun mulai terlihat. Ternyata, itu adalah anak-anak jalanan yang tadi kulihat di tangga. Pantas saja ada teriakan. Mereka terus saja memandang ke arahku. Apakah mereka ingin melihatku? Saat kuarahkan diriku ke arah lain, mereka tetap saja pada pandangan yang sama. Begitu kulihat di depan, Ibu Guru tengah menerangkan materi dengan serius. Ternyata, anak-anak tersebut sedang melihat dan mendengarkan penjelasan dari Ibu Guru, bukan memandangku. Kini, aku tahu bahwa mereka juga ingin menikmati masa kecil sepertiku. Anak-anak itu rela memanjat tembok nan tinggi  demi mendapatkan ilmu dan merasakan indahnya pendidikan, meski harus kucing-kucingan agar tak ada orang yang tahu.
“Hai...”
Kulambaikan tangan dan kusapa mereka dengan nada mendesis agar tak ketahuan oleh guru. Namun mereka begitu takut dan seketika bersembunyi saat tahu aku memperhatikan dan melambaikan tangan. Ya Tuhan, aku sangat iba  pada mereka. Di zaman modernisasi seperti ini ternyata masih ada orang-orang yang tak tersentuh bangku pendidikan karena kemiskinan. Mereka bahkan harus bekerja di usia yang masih sangat belia. Lantas, apakah negeri yang melimpah akan sumber daya ini tak dapat menjamin pemerataan pendidikan?
“ Apa yang sedang kamu lihat, Dito?” suara guru sejarah yang datang tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“ Itu, Bu!” ucapku sembari menunjuk ke arah anak-anak jalanan yang kini lari berhamburan.
“ Oh... Mereka memang sering datang dan belajar ke mari,” sahut Ibu Guru.
“ Jadi, Ibu sudah mengetahuinya?” tanyaku penasaran.
“ Ya, Ibu juga sering memperhatikan mereka. Ibu salut pada mereka yang walaupun di tengah keterbatasan tetap gigih dalam belajar.”
“ Sekolah tidak akan melarang mereka datang lagi kan, Bu?” tanyaku seakan memohon.
“ Tidak. Tak lama lagi mereka akan menjadi bagian dari kita,” jawab Bu Guru sembari tersenyum.
“ Maksud Ibu?” aku tak mengerti.
“ Mereka akan bersekolah di sini karena peran serta para donatur yang bersedia menanggung biaya pendidikan mereka kelak. Ya sudah, sekarang kembali fokus ke materi ya!” ucap Bu Guru sembari kembali ke depan.
“ Oh... baik, Bu!”
Hatiku berbunga-bunga. Entah mengapa, aku turut senang mendengar kabar gembira ini. Kukira mereka tak akan bisa belajar sepertiku. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Ambisi dan hasrat mereka untuk bersekolah akan segera terwujud. Aku menjadi semakin percaya bahwa bila ada keyakinan, di situ pasti ada jalan. Man jadda wa jadda.

Selasa, 09 Juni 2020

Cerpen "Rinai Hujan"

Malam ini, di sebuah kedai, berteman rinai hujan dan secangkir kopi, kutulis sebuah surat tentang hujan. Hujan, saksi bisu kisah yang telah terukir antara aku dan Oki, lelaki yang kini berusia 29 tahun dengan sorot mata tajam nan meneduhkan tiap kali aku memandang. Sungguh aku tak ingat betul kapan pertama kali bertemu dengannya. Yang kutahu, lima belas tahun yang lalu, Oki pindah ke kota ini mengikuti sang ayah yang dipindahtugaskan dari Bali. Kami saling mengenal beberapa waktu kemudian karena dia satu kompleks denganku. Dia lima tahun lebih tua dariku, juga termasuk anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Terbukti dari deretan piala dan piagam yang telah diterimanya.
Meski bersahabat dekat, kami memiliki kecintaan masing-masing. Aku adalah salah satu pecinta hujan, sedangkan Oki adalah salah satu pecinta kopi. Ia kerapkali berkunjung dari satu kedai ke kedai yang lain untuk mencicipi lezatnya seduhan kopi.
“Anna...”
“Hmmm...”
“Kamu tahu nggak, hujan dan kopi bisa menjadi perpaduan yang istimewa,” katanya kemudian. Aku mengernyitkan dahi.
“Kenapa sih, kamu begitu menyukai kopi?”
“Karena kopi memiliki filosofi.”
“Filosofi?”
“Ya. Pahit, tapi selalu menjadi candu yang nikmat.”
“Nikmat?” tanyaku tak mengerti. Ia hanya tersenyum simpul sembari memandangi secangkir kopi di hadapannya.
Waktu begitu cepat berlalu. Kini kami sudah beranjak dewasa dan hubungan ini kian erat terpilin. Tak ayal, kami menjelma sepasang kekasih yang saling melengkapi satu sama lain. Tak dapat kupungkiri rasa nyaman tatkala berada di dekatnya. Kurasa, ia pun demikian. Mungkin ini terjadi karena seringnya kami bersama. Namun entah mengapa, akhir-akhir ini Oki seakan hilang ditelan bumi. Ia tak dapat dihubungi. Bahkan, rumahnya selalu sepi, baik pagi, siang, ataupun malam. Hingga suatu ketika, Tante Cindy, ibunda Oki, memberi kabar bahwa mereka tengah berada di sebuah rumah sakit. Ia pun menyuruhku segera datang ke rumah sakit itu. Tiba-tiba saja perasaanku menjadi tidak karuan. Pikiranku berkecamuk ke mana-mana.
“Tante!” seruku begitu aku sampai di rumah sakit. Tante Cindy melambai ke arahku. “Tante, siapa yang sakit?” tanyaku kemudian. Tak ada jawaban dari Tante Cindy. Ia kemudian menggandeng tanganku memasuki sebuah ruangan. Tampak di situ sosok yang tak lagi asing bagiku tengah terbaring kaku dengan selang di sekujur tubuhnya. Aku tak dapat berkata-kata lagi. Seketika kakiku lemas, seakan tak kuat lagi untuk menapak. Bagaimana tidak, sosok yang akhir-akhir ini kucari, ternyata ada di sini. Aku memang ingin bertemu dengannya. Tapi bukan pertemuan seperti ini yang kuingini.
Saat itu hujan turun deras sekali. Aku hanya bisa menangis. Hatiku hancur berkeping-keping. Kekasih macam apa aku? Tidak pernah bertanya dia sakit apa ataupun apa yang sedang dia rasakan. Aku hanya sibuk membahas hal-hal tentang diriku. Bukankah seharusnya aku mencoba memahami dirinya juga? Hari itu dan seterusnya aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri. Hari-hari pun kulalui dengan berat hati. Tak ada lagi pesan dari Oki seperti yang selalu kutemui di layar ponselku setiap hari. “Tuhan, sembuhkanlah Oki seperti sedia kala!” Aku hanya bisa merapalkan doa-doa.
Tepat sore itu, aku menerima sebuah pesan singkat dari  Tante Cindy bahwa esok Oki akan dimakamkan. Deg. Jantungku seakan berhenti berdetak. Dunia runtuh seketika. Mimpi-mimpi yang kubangun dengannya pupus seketika. Aku menangis sejadi-jadinya, sedih sesedih-sedihnya. Perasaan-perasaan itu bergejolak menjadi satu dalam hatiku.
Singkat cerita, hujan datang tatkala aku sampai di makam Oki. Tak sekali pun kuingat bahwa hujan turun begitu derasnya. Aku berlari sekencang-kencangnya, tak peduli terpeleset, jatuh, aku terus bangkit, dan berlari. Hingga akhirnya kutersungkur di depan pusara dengan sebuah nisan bertuliskan namanya. Hujan deras saat itu menjadi saksi betapa hancurnya aku akan kepergiannya.
“Sudah sejak lahir Oki mengalami kelainan jantung, Anna. Dari ia lahir hingga tumbuh dewasa, ia terus menjalani terapi. Dokter sudah mendiagnosis bahwa usia Oki tak akan lama. Bisa bertahan hingga usia 28 tahun itu merupakan salah satu keajaiban yang Tuhan berikan dalam hidupnya,” Tante Cindy menjelaskan.
“Kenapa dia tak pernah mengatakan apa-apa, Tante?”
“Ya karena dia tidak ingin orang lain tahu apa yang terjadi dalam hidupnya. Ia ingin orang lain memperlakukannya secara normal, bukan sebagai seseorang yang mengalami kesakitan,” jelasnya. Aku hanya bisa tersenyum getir mendengar apa yang disampaikan Tante Cindy.
Tak terasa, setahun pun berlalu, berganti menjadi rindu. Rindu itu telah mengendap. Ikhlas walau tak mungkin berbalas. Seperti endapan kopi yang pernah kita teguk di bawah naungan langit yang temaram. Secangkir kopi lagi malam ini, aku pikir akan cukup untuk melupakan rinduku padamu. Menggerusnya perlahan dalam paduan rasa pahit yang singgah di lidahku. Nyatanya tidak. Rindu yang begitu keras kepala ini tetap bercokol di hatiku. Rasa kecil bernama rindu ini memang sudah terlewatkan olehmu. Seperti seduhan kopi tanpa gula, pahit. Seakan mengejekku untuk mengabaikannya, tapi selalu kuulangi. Meneguknya kembali dan lagi. Walau pahit selalu ada di ujungnya, aku tak peduli.
Masih teringat dalam benakku. Kala itu, malam tahun baru, kita berteman ribuan kembang api yang menari-nari di angkasa. Bertaburan. Turut menyemarakkan suasana, seakan tak mau ketinggalan dengan pasangan muda-mudi yang tengah dilanda api bahagia.
Oki benar. Hujan dan kopi bisa menjadi perpaduan yang istimewa. Menikmati kopi hangat tatkala hujan turun rintik-rintik, tandas dalam sekali teguk, namun bisa menjadi candu yang nikmat. Begitupun rinduku. Bisa hilang dalam sebaris kata, namun selalu kembali untuk mengoyak hati. Dan bodohnya aku, selalu menikmati setiap goresannya. Kamu  yang selalu berada di barisan kedua mungkin tak paham dengan apa yang kurasakan. Kita saling menyakiti satu sama lain ketika rasa sudah semakin dalam. Mungkin kamu juga tak mengerti bahwa aku tak pernah bisa menolak rasa ini walau seringkali kucoba menghindar. Rindu seperti kopi yang dinikmati tatkala hujan. Pahit, tapi selalu menjadi candu yang nikmat.
Begitu pula dengan rinduku. Selalu aku ungkapkan padamu, walau hanya kau balas dengan senyuman abadi yang tiada akan kembali.


-selesai-