(Cerpen kolaborasi dengan Muhammad Rizki Oktavian, SMPN 1 Sewon, 2018)
Tumpukan berkas
menghiasi meja kerjaku. Betapa lelah aku hari ini. Baru saja seorang client keluar dari ruangan. Menjadi
pemimpin perusahaan rupanya tak semudah yang kubayangkan. Persiapan rapat dan
seminar lusa membuatku kelabakan sepekan terakhir. Aku memang seorang pimpinan,
tapi bukan berarti bisa terus menyandarkan diri di kursi putar. Udara yang
kehembuskan keluar melalui mulut. Benakku rasanya terombang-ambing. Hanya
berkas-berkas yang terus beterbangan dalam pikiran. Jangan sampai penat terus
menggelayut. Jika aku saja seperti ini, lantas bagaimana dengan
karyawan-karyawanku?
Sofa rasanya bisa
menjadi penangkal penat sementara ini. Aku duduk berselonjor sembari
mendongakkan kepala. Ternit seputih susu dengan hiasan gipsumnya tampak
memukau, menenangkan mata sehingga jenuh pun perlahan sirna.
Sinar senja diam-diam
menerobos kaca, merambat lewat udara, menerpa wajah, dan menyilaukan mata.
Kudekati jendela gedung nan kokoh berdiri di antara gedung-gedung pencakar
langit lainnya. Kuusap debu-debu yang menghalangi pandangan. Dari atas
kejauhan, jalan-jalan masih tampak ramai. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Burung-burung
melintasi cakrawala yang bergradasi jingga dan kuning. Mereka hendak kembali ke
sarang. Kicauannya pun bersahut-sahutan.
Senja ini begitu teduh.
Fatamorgana yang muncul di siang yang haus sudah tak kelihatan lagi. Semilir
angin pun begitu terasa menerpa wajah ketika aku sampai di pelataran kantor. Beberapa
karyawan yang kebetulan berpapasan membungkukkan badannya padaku. Aku pun
tersenyum dan melambaikan tangan pada mereka. Tak berapa lama, sebuah mobil pun
menghampiriku.
Membelah jalanan kota
yang padat di setiap jam pulang kerja seperti ini sudah biasa bagiku. Aku
berdiam diri selama berjam-jam di dalam mobil seperti ini sembari menyaksikan
pemandangan kanan dan kiri yang penuh dengan kendaraan. Aku juga sering
menyaksikan banyak pengamen jalanan yang tengah mengais rezeki di antara
kemacetan. Mereka menghampiri mobil demi mobil, berharap mendapatkan receh demi
receh rupiah. Tiba-tiba, mataku menangkap pemandangan tiga orang anak kecil
yang berlari-larian sembari membawa karung bermuatan barang-barang bekas. Tak
ada kesedihan di raut wajah mereka. Tawa kecil sesekali muncul di wajah mereka
yang polos. Mereka mengingatkanku akan satu hal, masa kecilku.
Saat itu, bukan gedung
pencakar langit yang tinggi tempat tinggalku, melainkan sebuah gunung. Gunung
ini bukanlah berasal dari sekumpulan pasir dan bebatuan. Tak pula berisikan
lava merah panas enzim-enzim yang ada di perut bumi pada umumnya, tetapi
tumpukan sampah yang menjadi satu. Lendir-lendir yang dikeluarkan bakteri saat
memakan sampah organik mengering ketika diterpa seberkas sinar terik dari sang
surya, menciptakan gundukan sampah kokoh yang menyerupai nasi tumpeng. Tapi
aroma gundukan sampah ini tak sesedap aroma nasi tumpeng. Tatkala angin
menyapu, bau sampah-sampah itu pun terseret dan menjadi satu dengan udara
sehingga terasa menusuk hidung.
Memang, ini adalah
gunung sampah biasa. Tapi bukan berarti gunung sampah ini tak mempunyai
kemampuan untuk meledakkan diri layaknya gunung yang sebenarnya. Bakteri-bakteri
yang ada di dalamnya mampu mengurai dan mengubah zat-zat organik menjadi ribuan
bayi metana. Jika metana-metana ini terus menumpuk, maka akan terjadi letusan
dahsyat seperti yang pernah terjadi di beberapa TPA.
Truk-truk sampah ada di
mana-mana, mengantarkan imigran sampah dari perkotaan besar menuju kawasan ini.
Kulihat akhir-akhir tahun belakangan ini semakin banyak sampah yang
berdatangan. Truk-truk tersebut juga datang dengan menggotong bau-bau yang
memabukkan. Bagaimana tidak menumpuk dan terus menjadi gunung jika sampahnya
saja terus berdatangan. Saat hujan turun pun tanah menjadi becek. Para sampah
akan berenang ke mana-mana mengikuti genangan air. Ketika hujan reda, tanah pun
menjelma menjadi lumpur. Lalat-lalat berpatroli di setiap tempat. Di mana ada
sesuatu yang berbau amis dan busuk, di situlah mereka akan mengerumun.
Di sebuah sudut TPA ini
terdapat sepetak tanah yang di atasnya berdiri sebuah susunan kardus beratapkan
seng besi yang berkarat. Celah-celah kecil yang dibuat oleh karat membuat kami
terkadang harus tidur berteman tetes demi tetes air ketika hujan mengguyur.
Rumah ini hanya beralaskan kardus. Tapi setidaknya ini lebih baik bagi kami
daripada tidur di kolong jembatan. Dan rumah kardus kecil inilah tempat
tinggalku bersama ayah dan ibu.
Di keluarga kecil ini,
aku merupakan anak tunggal. Ayah dan ibuku bekerja sebagai pengumpul
sampah-sampah yang masih bisa didaur ulang. Aku tak malu meski keadaan
keluargaku seperti ini adanya. Ayah dan ibu adalah pemberi kehidupanku. Usiaku
beranjak sepuluh tahun. Namun aku tetap belum bisa menikmati bangku sekolah.
Setiap hari ulang tahunku tiba, aku hanya bisa meminta kepada Tuhan akan
hasratku menikmati dunia pendidikan seperti anak-anak yang lain. Dari dulu
sampai sekarang, impianku hanya satu. Sekolah. Karena keterbatasan biaya,
impian itu hanya sebatas angan-angan yang terus saja kupendam.
Setiap hari, ketika
matahari sudah beranjak ke peraduannya, aku memulai aktivitasku. Dengan bekal
sebuah karung goni dan tali, aku mendaki gunung-gunung sampah. Terkadang aku
juga berjalan dari satu gang ke gang lain untuk mencari sampah-sampah yang lain
dan mengurangi rasa penatku. Gang-gang sepi seringkali kutemui. Namun itu tak
membuat gentar hatiku. Sembari bersenandung kecil, aku mulai memunguti setiap
sampah demi sampah lalu memasukkannya ke karung goni yang telah kupersiapkan.
Saat karung yang kugotong sudah mulai membesar perutnya, kucukupkan waktu
memunguti sampah pada hari itu. Jika masih tersisa waktu, aku biasanya datang
ke sebuah sekolah dasar yang tak jauh dari tempat tinggalku. Ini adalah
kesempatanku melihat kegiatan sekolah anak-anak SD.
Di depan dinding gapura
SD, aku mengintip apa saja yang dilakukan anak-anak seusiaku saat bersekolah.
Kemudian mataku beralih ke salah satu kelas. Di sana tampak seorang guru tengah
memberi penjelasan. Beberapa siswa kulihat
tiada yang bisa diam, terutama siswa laki-laki. Bukannya mendengarkan
penjelasan guru, mereka malah asyik mengobrol dengan teman sebangku. Geram
sekali rasanya tiap kali aku melihatnya. Gigiku sampai terus bergesekan karena
kesal melihat perilaku anak-anak itu. Jika aku menjadi mereka, tak akan
kusia-siakan kesempatan bisa bersekolah seperti ini.
Tak sengaja, aku
memukul gerbang sekolah sehingga menimbulkan bunyi yang keras. Rupanya, seorang
anak dari kelas itu melihatku. Terpaksa aku harus segera pergi dari sekolah ini
agar tidak menciptakan keributan. Meski aku hanya bisa melihat kegiatan belajar
di sekolah, suara guru yang lantang hingga terdengar ke telingaku mampu
membuatku mengerti beberapa materi di pelajaran dasar. Aku beranjak pulang,
meninggalkan materi yang belum sempat terselesaikan meski dengan berat hati.
Hasratku untuk bisa bersekolah semakin tinggi. Tapi mau bagaimana lagi.
Perlahan, kuseret kakiku untuk pergi.
Aku terus termenung di sepanjang
jalan, memikirkan cara bagaimana bisa bersekolah sampai-sampai tak melihat ada
batu di depanku. Kakiku tersandung batu itu hingga sampah-sampah yang ada dalam
karung goniku keluar berhamburan di pinggir jalan. Saat aku tengah memberesi
sampah-sampah tersebut, tampak sebuah map berwarna biru di antara sampah-sampah
yang lain. Karena penasaran, aku pun membuka isi map tersebut. Ternyata ada
berkas-berkas milik sebuah perusahaan. Aku yakin, ini adalah berkas penting
perusahaan tersebut. Aku pun bergegas memberesi isi karung goniku dan buru-buru
pulang.
“ Assalamualaiku, Bu!”
sapaku pada ibu ketika telah sampai di rumah.
“ Waalaikumsalam. Kamu
dari mana saja, kok baru pulang?”
“ Seperti biasa, Bu,
aku mampir ke sekolah dulu.”
“ Oh... itu apa yang
kamu bawa, Nak?”
“ Ini tadi kutemukan di
antara tumpukan sampah-sampah yang kudapatkan hari ini, Bu!” ucapku sembari
memberikan map tersebut pada ibu.
“ Sepertinya ini berkas
yang penting, Nak.”
“ Aku pikir juga
begitu, Bu.”
“ Kalau begitu, kamu
harus mengembalikan pada pemiliknya!” pinta ibu.
“ Aku harus mengembalikan
ke mana, Bu?” tanyaku tak mengerti. Aku dan ibu pun akhirnya mencatat alamat
perusahaan yang tertera pada berkas tersebut.
Keesokan harinya,
diantar ayah, aku datang ke alamat perusahaan itu, membawa map berisi berkas
tersebut, dan akan mengembalikannya. Begitu sampai di halaman depan, kami
dicegat oleh seorang satpam berperawakan tinggi besar. Ia menanyai maksud dan
tujuan kami datang. Lalu ayah pun menjelaskan semuanya pada satpam tersebut
yang kemudian menyuruh kami masuk dan menunggu di sebuah lobi.
Perusahaan ini sangat
besar. Lobi perusahaannya pun sangat mewah. Arsitekturnya juga sangat indah. Begitu
masuk dari pintu depan tadi, dingin seketika menjalar di seluruh tubuhku.
Rupanya, di sudut-sudat ruang terpasang sebuah benda yang entah aku pun tak
tahu namanya. Dengan benda tersebut, udara menjadi dingin. Aku begitu terpukau.
Belum pernah aku menginjakkan kaki di tempat sebagus ini. Mataku memandang
sekeliling. Orang-orang berdasi tampak keluar-masuk di perusahaan ini. Mereka
semua berpakaian rapi dari atas ke bawah, tidak seperti aku dan ayah yang hanya
berpakaian kumal dan bersandal jepit.
Tak berapa lama,
seorang resepsionis perusahaan tersebut mempersilakan kami masuk ke sebuah
ruangan. Di dalam ruangan, tampak seseorang yang berperawakan tinggi dan besar.
Meski begitu, ia terlihat sangat berwibawa. Awalnya, aku merasa takut. Namun,
orang tersebut mempersilakan kami duduk. Di depan mejanya tertera tulisan nama
dan jabatan. Rupanya, ia adalah direktur utama perusahaan ini. Namanya Jamal.
“ Maaf, kami mengganggu
waktu Bapak. Kami hanya ingin mengembalikan map ini. Kemarin kami menemukannya.
Sepertinya ini berkas penting,” ucap ayah seraya memberikan map tersebut kepada
Pak Jamal. Pak Jamal pun membuka map tersebut.
“ Ini kan berkas-berkas
penting yang selama ini saya cari. Bagaimana kalian bisa menemukannya?” tanya
Pak Jamal kemudian.
“ Saya kemarin
menemukannya di antara sampah-sampah yang saya kumpulkan, Pak! Kata ibu, ini
harus dikembalikan pada pemiliknya. Lalu kami datang sesuai alamat yang tertera
pada tulisan di situ,” aku menjawab pertanyaan Pak Jamal.
“ Saya sudah mencarinya
ke mana-mana selama ini. Dan sekarang, kalian datang ke mari mengantarkan apa
yang selama ini saya cari. Terima kasih banyak,” ucap Pak Jamal sembari
menjabat tangan ayah dan tanganku. Kemudian Pak Jamal mengambil sebuah amplop
kecil dan menyerahkannya padaku. “ Ini tidak seberapa, tapi sebagai tanda
terima kasih saya. Terimalah!”
“ Tidak, Pak! Terima
kasih. Tapi kami ikhlas menolong Bapak,” kata ayah kemudian.
“ Kalian yakin?” tanya
Pak Jamal meyakinkan.
“ Iya, Pak!” jawab ayah
mantap. Pak Jamal mengangguk dan kami pun berpamitan setelah menjabat tangan
Pak Jamal.
“ Tunggu, Nak!” seru
Pak Jamal sesaat sebelum kami meninggalkan ruangannya. “ Berapa usiamu?”
“ Sepuluh tahun, Pak!”
“ Kamu sekolah di
mana?”
“ Saya tidak sekolah,
Pak. Sehari-hari saya membantu ayah dan ibu mencari sampah-sampah yang masih
bisa dijual.”
“ Lalu, di mana kamu
tinggal?”
“ Di sebuah rumah kecil
tidak jauh dari TPA Glagah, Pak!”
“ Hmmm.. jadi
sehari-hari kamu ikut bekerja dengan kedua orang tuamu hingga tidak bisa
bersekolah ya?”
“ Iya, Pak!” jawabku
sedih.
“ Kalau begitu, maukah
kamu mulai bersekolah? Masalah biaya tidak usah khawatir, nanti saya yang akan
membiayai sekolah kamu. Anggap saja ini bentuk terima kasih saya atas apa yang
telah kamu dan ayahmu lakukan pada saya. Namun, kamu ikutlah bersama saya agar
masa depanmu lebih terjamin. Bagaimana?” tanya Pak Jamal sembari tersenyum.
Aku terdiam seribu
bahasa. Tak tahu harus berkata apa. Aku hanya bertatapan dengan ayah. Pak Jamal
memberi kami waktu untuk berpikir sampai esok hari. Di tengah perjalanan, aku
terus termenung memikirkan kata-kata Pak Jamal. Aku bingung. Satu sisi, ini
adalah impian yang selama ini aku nantikan. Namun di sisi lain, apakah aku rela
meninggalkan ayah dan ibu untuk ikut bersama Pak Jamal?
Setibanya di rumah, aku
dan ayah menemui ibu. Lalu ayah menceritakan segalanya pada ibu.
“ Pergilah, Nak! Ibu
rela melepasmu agar bisa meraih cita-citamu.”
“ Tapi aku tidak bisa
jauh dari ayah dan ibu,” ucapku kemudian.
“ Kamu masih bisa
mengunjungi ayah dan ibu kalau kamu rindu. Esok, temuilah Pak Jamal dan
persiapkan masa depanmu dengan gemilang. Doa ayah dan ibu akan selalu ada untuk
kesuksesanmu!” ibu pun memeluk diriku. Aku membalas pelukan ibu dengan sangat
erat.
Keesokan harinya, aku
kembali menemui Pak Jamal. Aku bersedia pulang bersama ke rumah Pak Jamal.
Rumah itu sangat megah, jauh berbeda dengan rumah kecilku. Hari itu, aku
memulai lembar-lembar kehidupanku yang baru sebagai anak angkat dari Pak Jamal
dan istrinya yang hingga kini belum dikaruniai seorang anak. Aku mulai
menggapai mimpi yang segera menjadi nyata. Benar saja, tak lama berselang, aku
mulai bersekolah. Untuk mengejar ketertinggalanku selama ini, Pak Jamal pun
mendatangkan guru privat setiap harinya untukku.
Hari demi hari pun
kulewati dengan belajar. Hal itu pun berbuah manis lewat prestasi demi prestasi
yang terus kutorehkan. Melihat hal itu, Pak Jamal semakin bangga padaku. Ketika
memasuki bangku kuliah pun, aku mendapat beasiswa pendidikan ke luar negeri.
Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Aku berangkat dengan dukungan penuh dari
ayah dan ibu angkatku. Mereka sangat menyayangiku. Sekembalinya dari luar
negeri, Pak Jamal pun memberi kepercayaan penuh padaku untuk menggantikan
posisinya di perusaan miliknya. Dan tanggung jawab sebagai pemimpin perusahaan
terus aku emban hingga detik ini.
Hari mulai gelap saat
aku mulai menyadari bahwa aku termenung sedari tadi sembari terus menggali masa
laluku. Dua puluh tahun yang lalu aku sama dengan anak-anak itu, bekerja
mengumpulkan barang-barang bekas yang sudah tak terpakai lagi. Aku pun berharap
mereka kelak juga bisa menggenggam erat masa depannya yang gemilang. Dan inilah
akhir kisahku. Sebuah kisah masa lalu di mana saat itu aku begitu ingin
sekolah.
---selesai---
catatan:
Cerpen ini telah dibukukan dan memenangkan lomba cipta cerpen tingkat provinsi sebagai juara pertama yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta, 2018.