Senja. Apakah yang
tengah engkau cari? Kumpulan kata yang mencipta teduh, kota yang semakin riuh,
ataukah kita yang kian rapuh?
Pasir putih itu
membentang begitu panjang. Debur ombak yang baku hantam tidak dapat membuatnya berantakan.
Bahkan, ketika sabit muncul di permukaan, biasnya tetap memantul dari butiran
pasir basah sehabis bermandikan air asin. Dalam gulita malam yang tak
sepantasnya membuat seorang wanita terduduk sendirian, ada gurat sendu yang
meneriakkan penantian dari bibirnya yang seolah bisu.
Sehelai selendang
bermotif bunga-bunga yang mulai lapuk dimakan usia dengan setia memeluk tubuh
yang berbetah diri menatap ke ujung lautan tanpa takut ditelan karang. Ia
berdiam saja, membiarkan udara malam mengecup mesra permukaan kulitnya meskipun
tidak ada yang tahu bahwa pergolakan batin sedang menggerogoti sukmanya.
Kita berdiri di atas tebing
curam nan menikam dengan begitu tajam. Ketika azan berkumandang, kita saling memandang. Antara azan yang berkumandang dan lonceng yang berdentang, antara kiblat yang menentukan arahku pulang dan altar yang membuatmu tenang, kita mengucap doa yang sama dengan Amin yang berbeda. Aku mencintaimu, meski tasbih di jemariku berbeda dengan salib di lehermu.
***
Ingatan adalah
satu-satunya harta yang kupunya. Sebab itu, kusampaikan ini kepadamu sebelum
manusia-manusia itu merampasnya dariku, seperti dulu keadaan merampasmu dariku.
Tidak akan ada yang
mengerti tentang ini. Barangkali cuma jendela
dan hujan yang mengerti. Dan Fransisco, tentu saja. Lelakiku satu itu memang teramat
tampan. Gadis mana yang tak akan jatuh hati melihat keelokan parasnya?
Aku senang
memberitahukannya segala sesuatu yang sederhana. Ya, seperti hujan di pagi ini.
Pikirannya sudah amat rumit oleh banyak hal. Makanya, aku mengajaknya melihat
hujan, menyentuh angin yang melewati sela-sela jemarinya yang dingin, dan
menghirup udara yang kuyakini tak akan berumur panjang.
“Umur panjang untuk
hidup yang begini-begini saja pastilah amat membosankan.” Itu kata Frans dulu,
saat aku duduk di sampingnya sembari menikmati rinai hujan. Kutengadahkan
tangan, lalu kuseka perlahan-lahan wajahnya dengan air nan dingin itu. Wajah flamboyan
nan begitu rupawan itulah yang menjadi salah satu hal penting dari dirinya dan akan
selalu aku rindukan saat jauh bersamanya.
“Berapa lama aku harus
menunggu?”
Dagunya sedikit terangkat
saat dia melontarkan pertanyaan untukku. Pertanyaan yang membuatku semakin
sayang meski ada sedikit rasa bersalah. Lelaki ini tidak pernah mau membebaniku
dengan perasaan bahwa aku yang pergi dan dia adalah orang yang pantas
dikasihani karena ditinggalkan.
Dia menempatkan dirinya
sebagai laki-laki yang memang sudah semestinya tak memaksakan apa yang
dikehendakinya. Hanya menanyakan seberapa lama waktu yang dia perlukan untuk
menjalani tugas menunggunya itu. Beginilah dia.
“Tidak
akan lama, Frans.”
Kutatap matanya dalam-dalam untuk meyakinkan kekasihku. Meski di
balik itu, aku tidak yakin dengan perkataanku sendiri. Seharusnya Frans tahu
itu.
***
Hujan hari ini memang
tidak ada capai-capainya. Jatuh terus sejak pagi. Tapi ini apa ya, siang atau
sore? Atau masih pagi? Langitnya sama saja, hitam dan menakutkan. Bulu-bulu
lenganku sampai tidak kelihatan kalau aku tidak mendekatkan diri ke jendela.
Saking gelapnya, kalau hujan seperti ini hampir tidak ada orang berkeliaran.
Cuma mobil-mobil yang berderet panjang di jalan besar sana. Tidak tahu
sepanjang apa. Tapi, sejak tadi aku melihatnya hanya bergerak maju sedikit
saja. Bahkan, kau tak akan tahu mobil itu sudah bergerak maju kalau tidak
memperhatikannya dengan saksama dan dalam tempo yang lama.
Bumi mungkin sudah
terlalu sesak. Orang-orang terlalu cepat melahirkan anak-anak. Apa yang bisa
mereka perbuat? Cuma teriak-teriak. Tidak jelas. Bahasanya saja aneh-aneh. Maka
jangan salahkan aku kalau sejak tadi ada dua bocah di ruangan ini yang hanya
diam karena telah kumarahi. Kerjaannya tertawa dan ngomong keras-keras tanpa faedah. Membuyarkan pikiranku yang tengah
serius mengerjakan tugas dari dosen saja.
Kedua bocah laki-laki ini,
berbadan gempal. Salah satunya baik, suka tersenyum. Meski kadang aneh. Kalau
aku sedang rindu dengan lelakiku, dia akan memperlihatkan benda yang ada orang
bergerak di dalamnya.
Aku menyeruput cangkir
kopiku untuk ke sekian kali. Lalu kuletakkan di atas meja, di samping laptop
kecilku. Cuma ini penghilang penatku di rumah. Duduk menghadap jendela sambil
memperhatikan manusia-manusia kecil itu berkejar-kejaran, seolah siap bersaing
dengan dunia. Jendela kayu yang menghadap ke gang depan rumah mampu membuat
mataku menatap jauh hingga ke jalan besar sana.
Ayah membangun rumah
ini semakin besar, padat, dan mengkilap. Tiangnya yang dulu dibangun kokoh oleh
kakek, diganti dengan beton. Di sana-sini dindingnya yang tebal, kaku, dan
dingin telah diwarnai. Jendela samping inilah yang bersikeras kupertahankan.
Tidak boleh diganti dengan besi ataupun ditambahkan kaca. Katanya aneh, jendela
ini terlihat kecil untuk rumah yang semakin megah.
***
Hari selanjutnya, usai
seharian hujan turun dengan derasnya, matahari bersinar walau masih tampak malu-malu.
Namun, setidaknya seharian ini aku dapat menghabiskan waktu bersama Frans untuk
mengatasi segala kepenatan usai seminggu belakangan kami dihajar oleh soal-soal
ujian semester.
“Mau ke mana kita?”
tanyaku pada Frans tatkala kami sampai di parkiran kampus.
“Hmmm...”
Aku menjadi kesal
dengan jawabannya. Namun, ia justru tertawa geli dengan kekesalanku. Aku
menjadi semakin kesal.
Lima belas menit
kemudian kami sampai di sebuah mall tak jauh dari kampus. Frans menggenggam
tanganku. Kami berjalan menuju lantai atas, memesan tiket untuk menonton film
yang tengah diputar hari ini. Dan, dua buah tiket pun berhasil kami dapatkan.
Frans menyuruhku duduk. Lalu ia memesan popcorn
dan minuman sebelum kami menuju pintu teater yang telah dibuka.
“Gimana, masih kesal?”
tanyanya padaku usai kami duduk di sesuai nomor kursi. Aku tersenyum sembari
mencubit lengannya gemas. Dan kami pun larut dengan cerita dalam film itu
hingga selesai diputar.
***
Frans adalah salah satu
mahasiswa yang cerdas di kampus. Ia juga dikenal sangat aktif dalam berbagai
organisasi di lingkungan kampus. Bahkan, ia berhasil menjadi ketua umum
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bahasa dan Seni. Posisi yang tentunya menjadi
incaran tiap orang, dengan kepiawaiannya mudah saja ia dapatkan.
Sejak menjadi ketua
HMJ, intensitas pertemuannya denganku pun semakin jarang. Ia menjadi semakin
sibuk dengan kegiatannya yang baru. Pesan dan panggilan yang datang dariku pun
seringkali dinomorsekiankan. Aku mengerti, bukan porsiku untuk menghalanginya
berkegiatan. Selama itu hal yang positif, apapun yang dilakukannya tentulah
kudukung sepenuhnya.
Seiring berjalannya
waktu, kesetiaan menjadi sebuah ujian. Masih teringat jelas di benakku. Memasuki
tahun ketiga, di penghujung bulan Januari, di mana hujan turun sehari-hari. Tatkala
dua manusia memadu kasih dengan begitu indahnya, di saat itu pula badai pun
mulai menerjang. Bak armada yang mulai terseok-seok di tengah lautan. Menunggu
datangnya mukzizat sebelum ia karam.
Suatu sore nan mendung.
Mungkin semendung hati yang tak bisa teringkari ketika kekasih yang begitu engkau
cintai menggores luka nan menganga dengan membagi hati. Lantas, apakah engkau
masih bisa percaya? Masihkah pintu maaf itu terbuka? Namun, bisakah hati
kecilmu membiarkan ia melewati luka seorang sendiri tatkala berada di titik
terendah dalam hidupnya? Jawabannya tentu tidak. Entah. Berapa pun besarnya
luka yang tertoreh di relung hati, nyatanya cinta mampu membuka ruang-ruang
maaf yang seolah tertutup rapat tiada bercelah.
Tahun itu menjadi tahun
terberat yang mesti kulalui bersama Frans. Aku memutuskan untuk menerima Frans
kembali dan mencoba melupakan segenap kesalahan yang telah ia lakukan. Di sisi
lain, aku juga semakin menyadari banyak
hal bahwa semakin tinggi jam terbang, semakin banyak pula yang memberinya
sanjungan, walau tak sedikit pula yang memberi ujaran mengandung kebencian.
Pencapaian gemilang
yang berhasil ditorehkan Frans selama berkarier di organisasi kampus pun dengan
berat hati harus ia relakan tatkala beberapa oknum berusaha menjatuhkan.
Bahkan, hujatan-hujatan tajam pun bermunculan, menggiring opini miring sehingga
orang-orang yang tak tahu-menahu banyak yang termakan omong kosong itu. Wajar,
bila pada akhirnya ia merasa berada di titik terendah hidupnya saat itu. Begitulah
hidup dan kehidupan.
“Tenang, kita akan
melaluinya bersama.” Begitu kataku menguatkan.
“Terima kasih ya, kamu
hadir untuk memberi dukungan dan kekuatan!” Demikian kata Frans kala itu. Ia
menggenggam tanganku erat, seolah berkata tak ingin melepaskan.
***
Maafkan aku, Frans. Aku
tak bisa menepati janjiku untuk terus bersamamu menjaga hati dalam hubungan nan
pelik ini. Meski luka di relung hati tak bisa dipungkiri. Namun, tetap bertahan
bukanlah sebuah pilihan. Kita adalah dua jiwa yang perih, tak kuasa melawan keadaan.
Pada akhirnya, kita pun menyerah. Makanya, kita lebih memilih diam dan
membiarkan semua terjadi dengan semestinya.
Ini adalah perjalanan
yang berat. Aku akan membiarkannya pergi, melanjutkan kehidupan kami
masing-masing. Perpustakaan kampus, di sinilah pertama kali aku bertemu dengan
Frans, sosok yang perlahan menjelma menjadi kekasihku. Di sini pulalah terdapat
sebuah taman, juga bangku kayu tempat kami sering menikmati hujan. Namun, di
tempat ini pulalah yang akan menjadi tempat penuh kenangan.
Frans terus memandang
wajahku dan pada akhirnya mengerti. Ia membiarkanku pergi menemui jalanku
sendiri. Kita mungkin telah sampai di persimpangan jalan yang menukik dengan
begitu tajam. Walau kutahu, jalan yang diambil ini sangat berat.
Aku tersenyum, tapi
hatiku pedih, pedih sekali. Air mata pun tak kuasa kutahan. Kuusap jemari
tangan Frans yang lembut. Untuk terakhir kali, aku tak sanggup menatap matanya.
Aku yakin ia tak akan menangis saat ini. Lelaki flamboyan yang paling kucintai
itu tidak pandai memperlihatkan kesedihannya.
“Mungkin
aku tidak tahu rasanya ditinggalkan. Tapi, meninggalkanmu adalah sakit yang tak
akan bisa kugambarkan dengan apapun di dunia ini.”
***
Aku terjebak di sebuah
toko buku dan belum bisa pulang karena hujan belum juga reda. Tak jauh dari
situ, ada sebuah kedai kopi yang memang tak asing lagi. Aku sering menghabiskan
waktu di sini dulu, bertahun-tahun yang lalu. Jika pergi membuat kehilangan, maka pulang seharusnya menjadi penawar.
Seharusnya. Ah, sudahlah, entah apa yang tiba-tiba merasuki pikiranku hingga dihujani
bayang-bayang masa silam.
Sebuah meja kosong di
ujung kedai pun kupilih untuk sejenak melepas lelah. Sembari menunggu moccacino panas, kubuka lembar demi
lembar buku yang telah kubeli. Sungguh, tak ada yang mampu menandingi nikmatnya
secangkir kopi ditemani sebuah buku tatkala hujan tiba. Tak berselang lama,
sebuah pesan masuk di layar ponsel. Dari seorang kawan yang akan kuberikan
undangan. Aku menunggunya di kedai itu sembari larut dengan frasa demi frasa
yang membuat mata ini menari ke kanan dan ke kiri untuk menikmatinya.
“Permisi, Mbak, boleh
saya duduk di sini?” tanya seseorang padaku.
“Oh, silakan saja, Mas!”
jawabku sekenanya tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Yang kutahu, kedai ini
semakin ramai. Maka tak ada salahnya berbagi meja dengan yang lainnya. Barangkali
dia tak mendapat tempat duduk, begitu pikirku dalam hati. Sunyi, hingga akhirnya
lelaki di mejaku itu kembali bersuara. Suara yang tak asing kedengarannya
bagiku. Kuhentikan membacaku lalu menoleh ke arahnya. “Frans! Ya Tuhan, dia Frans. Benarkah demikian?”
Frans tersenyum ramah. Tangannya
terjulur kepadaku. Aku menyambut uluran tangannya yang dingin di atas meja. Delapan
tahun telah berlalu sejak kepergianku waktu itu. Namun, lelaki itu masih sama
seperti dulu. Masih gagah dan menawan. Kami berbicara banyak hal selama tak
bertemu hingga tiba di detik ini. Meski kami tidak bisa menikah, aku tetap
mencintainya. Dia menyuruhku punya anak. Dia ingin melihat anak kecil hadir dalam
hidupku. Tapi dengannya, tidak bisa. Mustahil katanya.
Tubuhku bergetar. Aku
tak lagi menghiraukan kelanjutan perkataannya. Aku hanya memandang ke arah jendela,
menyaksikan gerimis yang masih turun membasahi bumi. Frans ulurkan kembali tangannya
untuk menyentuh pipiku yang kini basah oleh air mata yang tak lagi bisa
tertahan.
Aku semakin terisak dalam
dekapnya. Dan benar, saat matahari hendak terbenam, gerimis semakin deras,
berubah menjadi hujan. Dan Frans, duduk menatapku sembari menguatkanku, mengulang
kenangan lama, duduk di tepi jendela sembari menikmati hujan.
Frans memang tidak
pernah pergi. Dia selalu menungguku. Menemaniku menikmati hujan bertahun-tahun
berikutnya hingga tak mampu kuhitung lagi berada di tahun ke berapa kami
sekarang ini? Tidak tahu. Tapi manusia-manusia semakin aneh. Aku menarik napas
berat menatap jendela yang tertutup sebelum mobil benar-benar melaju.
Ingatanku masih utuh.
Tak ada yang kulupakan sedikit pun. Tapi aku diam saja. Bagaimana pun aku tidak
akan membiarkan seseorang mengganggu ingatanku yang sempurna ini. Semesta mempertemukan kita hanya untuk saling belajar, bukan saling bersandar.