Kamis, 28 Mei 2020

Puisi "Pamit"


Di sini, di sudut kota nan sepi ini
kutuliskan secarik kertas padamu
untuk segala perjalanan yang selama ini kulalui.

Aku telah sampai pada satu titik
yang membawaku pada suatu kesadaran
bahwa segala harap tentangmu
harus kuakhiri sampai di sini.

Segala angan akan sosokmu
kerinduanku pada tawa candamu
juga terus membersamaimu di sepanjang hidupku
harus kubunuh perlahan.

Aku pergi
bukan karena aku menyerah atau aku telah kalah
melainkan aku memahami
bahwa memenangkan hatimu tak akan semudah menakhlukkan ego dalam diri.

Kini kau pun terbebas dari segala belenggu
yang selama ini mengungkungmu atas kehadiranku.

Maafkan aku jika selama ini
telah menyita waktu dan perhatianmu.
Maafkan aku untuk segala ketidaknyamanan
yang selama ini aku ciptakan.

Aku menutup lembar kisahku
dengan seutas senyum yang mengembang.

Dengan berakhirnya tulisan ini
aku ingin memberitahukanmu satu hal
bahwa ada sosok aku yang mengagumi seorang kamu
rasa yang selama ini hanya mampu kupendam
tanpa sempat aku ucapkan.

Kuharap suatu hari nanti kau mampu mengerti
bahwa rasa yang hendak kau bunuh perlahan ini
sejatinya tulus tanpa ragu.

Kelak, jangan pernah engkau menyesali
tatkala engkau menyadari bahwa pernah ada seseorang
yang selalu menghadirkanmu dalam doa-doa malamku
juga (pernah) mencintaimu dengan begitu.

Selasa, 26 Mei 2020

Cerpen "Lebaran untuk Luna"

(dengan sedikit gubahan)


Aku ingin hidup seperti remaja-remaja lain seusiaku, bermain dengan teman-teman, menikmati hal-hal indah semasa remaja, tapi apalah dayaku. Aku hanya tinggal bersama adikku, Adinda. Waktu itu, saat usiaku sepuluh tahun, ayah telah meninggalkanku untuk selamanya. Dia adalah buruh pabrik tahu di Semarang. Biasanya, setiap lebaran tiba, ayah akan pulang membawa beraneka jajanan untukku dan Adinda. Namun, pagi itu, sebuah minibus menabrak ayah yang tengah menyeberang jalan. Ayah pun tertidur dan tidak bangun-bangun lagi.
Sepeninggal ayah, ibuku adalah tulang punggung keluarga. Setiap hari, ia berkeliling menjajakan jasanya sebagai buruh cuci dari rumah ke rumah. Hampir setiap hari itu pula aku menyaksikannya mengonsumsi aneka jamu. Entah sakit apa ibuku kala itu. Katanya harga obat sangat mahal. Setahun kemudian, ibu pun menyusul ayah pergi untuk selamanya.
Di usiaku yang ke sebelas, aku telah menjadi yatim piatu sekaligus orang tua untuk adik semata wayangku. Untuk menyambung hidup, aku menjajakan camilan yang kuambil dari tetangga dengan sistem upah harian. Jika seluruh camilan yang kubawa habis, aku akan mendapat upah dua puluh ribu rupiah. Namun jika tidak, aku hanya akan mendapat upah lima ribu rupiah. Berjualan di terminal seperti ini terkadang harus kucing-kucingan dengan para preman. Tak jarang mereka memalak hasil para pedagang kecil sepertiku ini yang mengumpulkan uang dengan susah payah.
Pagi ini, sama seperti pagi-pagi biasanya. Aku bersiap menjajakan dagangan. Kulihat Adinda masih terlelap. Gadis kecil berusia lima tahun itu mendekap guling kesayangannya yang sudah usang. Bulir air mataku jatuh, tak dapat menahan kesedihan yang begitu membuncah. Demi Adinda, segala pedih perih rela kutahan. Kulihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.00. Segera aku bergegas menuju Terminal Giwangan sebelum kesiangan. Kukecup kening Adinda. Ada rasa pilu setiap kali harus meninggalkannya sendirian. Dengan ditemani dua kucing kesayangan kami, Kitty dan Helly, Adinda akan bermain seharian hingga aku pulang.
Di sepanjang perjalanan, aku menyaksikan remaja seusiaku berkumpul bersama ayah dan ibunya. Mereka juga menyiapkan hidangan khas seperti ketupat opor ayam, sambal goreng hati ampela, maupun rendang untuk menyambut lebaran yang akan datang esok hari. Aroma yang hanya bisa kucium, tanpa pernah bisa aku rasakan. Sampai di pasar batas kota, aku kembali menyaksikan orang-orang berjubel membeli keperluan lebaran. Ada lapak pedagang kelontongan ketupat yang tampak ramai diserbu pembeli. Tak jauh dari situ, lapak pedagang pakaian pun tak kalah ramai. Para pembeli beramai-ramai memilih baju lebaran terbaik yang akan mereka kenakan. Pemandangan yang sangat kontras denganku, baju lusuh, alas kaki yang hampir jebol, dan begitu kumal.
Pukul 07.00 aku sudah sampai di Terminal Giwangan, menggelar lapak, dan bersiap menjajakan dagangan pada para pemudik yang masih berdatangan dari luar-luar kota untuk menemui sanak-keluarga.
“Camilan... camilan... mari Bapak, Ibu, Mbak-mbak, Mas-mas, silakan dilarisi. Murah meriah saja, mari dipilih-dipilih.”
Terik matahari mulai memanggang tubuhku yang kurus, memantulkan kerasnya kehidupan terminal pada licin dan lengketnya keringat yang bercucuran di balik baju lusuh ini. Lembaran demi lembaran terus kukumpulkan. Wajah Adinda yang terus membayang menjadi pelecut semangat untukku terus mengais rezeki di siang yang terik ini, tak peduli seberapa kering dan dahaga kerongkongan, maupun cacing-cacing yang terus melilit dan menggerus di dalam perut, aku tetap berjuang.
Matahari telah condong ke ufuk barat. Aku segera merapikan dagangan dan bersiap pulang. Tiba-tiba, ada beberapa sosok tinggi besar yang mendekati lapakku. Kutahu, tidak akan lama lagi mereka akan segera merampas uangku. Dua di antara mereka datang sambil menenteng botol minuman.
“Kemarikan uangmu!” Aku menggeleng sembari memeluk uangku erat.
“Tidak! Ini uang untuk makan adikku!” Aku menolak dan terus memberontak. Maka botol minuman itu melayang di pelipis mataku. Darah segar mengalir dengan segera, semakin deras dan mengenai pakaianku. Tubuhku menggigil dan keringat dingin terus bercucuran. Tak akan kubiarkan mereka mengambil uang yang kukumpulkan. Segera aku lari di antara tenaga yang tersisa dan berteriak sejadi-jadinya. Senyum polos adikku terus menari-nari di pelupuk mataku. Sepanjang kuberlari, aku terus menangis dan tak henti-hentinya menyebut nama Tuhan. Tiba-tiba pandangan mataku gelap. Aku jatuh tersungkur.
Aku membuka mata dan melihat ke sampingku, Adinda terus menangis. Aku bangun dan memeluknya erat. Kukatakan bahwa aku tidak apa-apa. Ia berhenti menangis. Tepat saat itu juga azan berkumandang. Adinda membawakan segelas air putih untukku. Kami pun berbuka puasa di hari ke tiga puluh ini dengan segelas air putih dan makanan pemberian tetangga yang tadi turut serta menggendongku ketika pingsan. “Alhamdulillah, uang titipan Tuhan hari ini masih bisa kuselamatkan.”
“Alhamdulillah, hari ini Kakak dapat uang banyak. Yeay,” kata Adinda sembari mengibas-ngibaskan selembar uang dua puluh ribuan.
“Iya, maaf Kakak tadi belum sempat beli beras. Tapi Kakak berjanji, esok kita akan membeli beras hingga dapat makan sepuasnya,” lanjutku, disambut gelak manja Adinda.
“Kak, aku ingin makan daging hitam seperti orang-orang itu,” Adinda melanjutkan.
“Iya sayang, nanti kalau Kakak ada uang kita akan makan daging hitam itu ya,” kataku sembari mengelus lembut rambut Adinda.
“Asyik!” seru Adinda dengan polosnya.
Daging hitam, begitu sebutan Adinda untuk makanan yang biasa disebut orang-orang sebagai rendang. Makanan dari daging sapi yang dimasak dengan aneka rempah-rempah pilihan. Konon, kata ibu, rendang adalah makanan terlezat sedunia. Namun, belum pernah sekali pun aku merasakannya. Bagiku, rendang adalah lambang kemakmuran bagi orang-orang kaya, terlalu mahal untuk bisa dinikmati rakyat jelata.
Aku mencoba mengajak Adinda jalan-jalan agar ia bisa melupakan sejenak keinginannya untuk makan rendang. Suara takbir menggema bersahut-sahutan. Kami melihat kebahagiaan orang-orang akan datangnya Hari Raya Idul Fitri. Mereka berpesta, makan makanan lezat, menyalakan kembang api, dan tampak sangat bahagia. Sementara di gubuk kami, hanya ada dua insan yang terus terongrong kemelaratan. Terkadang aku bertanya kepada Tuhan, di manakah letak keadilan?
1 Syawal, bertahun-tahun sudah kami merayakan hari raya di gubuk reot peninggalan ayah dan ibu. Dan setiap kali malam lebaran tiba di setiap tahunnya, hanya akan tampak kesedihan di mataku, juga Adinda. Aku hanya memeluk Adinda sambil menangis, sedangkan Adinda hanya bisa menatap kebahagiaan orang-orang di luar dengan penuh harap. Kadang tatapan itu kosong. Kurasakan tubuhnya semakin kurus. Wajahnya semakin hari semakin pucat pasi.
“Kak, aku ingin ke makam ayah dan ibu,” pinta Adinda padaku. Aku mengangguk mengiyakan. Lalu kami melangkahkan kaki sampai di pemakaman. Kulihat Adinda hanya diam sampai akhirnya dia jatuh tersungkur di atas tanah pekuburan. Aku histeris. Kuguncang-guncangkan tubuhnya tapi Adinda tak bergeming. Ia terus diam. Kubopong tubuh kurus kering itu sampai ke sebuah gubuk kecil milik kami, aku ambruk.
Ketika bangun, yang kulihat pertama kali adalah Budhe Sri. Dia tetangga di samping rumah kami. Sepeninggal ayah dan ibu, Budhe Sri sudah seperti ibu bagiku. Tak jarang, Budhe Sri mengantarkan makanan untukku dan Adinda.
“Luna kenapa pingsan tadi,” tanya Budhe Sri cemas.
“A... Adinda mana, Budhe,” ucapku terbata sembari menyisir sudut demi sudut gubuk dan akhirnya menemukan Adinda terbaring lemah di sudut gubuk. Ia masih memejamkan mata.
Budhe Sri memberi isyarat kepada putra sulungnya untuk menjemput mobil dan mengantar kami ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, aku dan Adinda dibawa ke ruang perawatan dan segera diinfus. Dua hari dirawat, Adinda masih terbaring lemah tak berdaya. Namun, ia sudah bisa berkomunikasi meski masih terbata-bata.
“Kak...” Pelan sekali Adinda memanggilku.
“Maafkan Kakak ya, Dik,” kataku sambil mengusap pelan kepala Adinda.
“Kak, aku sakit, tak tahan lagi. Seluruh tubuhku lemah. Tadi pas aku tidur, aku lihat ayah dan ibu di pintu surga. Mereka mengulurkan tangannya. Saat aku hendak meraihnya, tiba-tiba Kakak memangil-manggilku.”
Aku langsung menangis sejadi-jadinya. Memeluk Adinda dengan sangat erat. Aku tak ingin dia pergi karena ketidakberdayaanku mendapatkan uang. Jangan tinggalkan aku, Adinda. Ia terus saja bercerita tentang mimpinya. Antara menahan sakit dan bahagia bisa berjumpa dengan ayah dan ibu, katanya ia ingin ikut mereka. Aku terus saja menggelengkan kepalaku.
“Kak,” panggilnya dengan wajah sangat tenang. Dia menunjuk ke atas, katanya ayah dan ibu telah menunggu. Lalu ia tertidur pulas sekali dengan sebuah senyum yang mengembang di wajahnya.
“Tidak!” teriakku. Semuanya hening.
Aku kembali ke gubukku, seorang diri. Tiada lagi yang menyambutku di bibir pintu tatkala sore hari dengan rengekan manjanya. Sosok itu kini telah pergi menyusul ayah dan ibu ke surga.
Malam itu kukemasi barang-barang Adinda di dalam lemari. Di sana ada banyak sekali kertas berisikan cerpen dan puisi. Jadi ini yang Adinda lakukan selama aku berjualan. Air mataku pun jatuh. Aku rindu padanya.
Budhe Sri tiba-tiba datang mengantar makanan. Ia melihat kertas-kertas itu. Dibacanya satu per satu kertas itu dan ia pun tersenyum.
“Budhe akan membeli kertas-kertas ini, Luna. Bagaimana, kamu setuju,” tanyanya padaku. Aku mengernyitkan dahi tak mengerti. Untuk apa Budhe Sri membeli kertas-kertas itu. “Budhe akan memasukkan tulisan Adinda ke redaksi koran,” katanya kemudian.
Kertas-kertas itu dibawa oleh Budhe Sri. Seminggu kemudian, aku melihat koran di pinggiran Terminal Giwangan. Ada kolom cerpen di sana dengan judul “Hari Raya untuk Kakakku”. Aku baca cerpen itu. Aku pun menangis. Itu adalah kisah hidupku, kisahku bersama Adinda. Cerpen yang jumlahnya ratusan lembar itu pun diterbitkan secara maraton oleh sebuah koran tempat suami Budhe Sri bekerja. Dari hasil penerbitan itu, aku memperoleh honor. Aku merasakan kehadiran Adinda setiap kali membaca karya-karyanya. Aku tahu, dia selalu ada di sisiku. Memelukku dan akan selalu menungguku merayakan lebaran bersama ayah dan ibu di surga.

Sabtu, 23 Mei 2020

Cerpen "Purnama di Malam Lebaran"


Achmad, seorang manajer di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Ia memiliki karier yang cemerlang dan hidup berkecukupan. Bahkan, dirinya dielu-elukan banyak orang sebagai sosok yang mujur. Berbekal ijazah sarjana, ia mengadu nasib ke ibu kota sepuluh tahun yang lalu, meninggalkan kampung halaman dan berjuang di perantauan. Kini, ia bisa berpuas diri menikmati hasil kerja kerasnya selama ini. Sebuah rumah mewah di kawasan elite telah menjadi salah satu investasinya meskipun masih harus dicicil dengan jumlah fantastis tiap bulannya.
Nasib Achmad berubah 180 derajat sejak munculnya virus corona awal Maret lalu. Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan juga pusat perekonomian yang padat penduduk, dalam waktu yang sangat singkat menjadi daerah zona merah. Bagaimana tidak, virus ini dengan sangat cepat menyebar, membuat siapa pun kewalahan dibuatnya. Sejak virus ini muncul, kehidupan bisa dikatakan tidak lagi sama seperti semula. Terlebih usai diberlakukannya PSBB oleh pemerintah, banyak pelaku usaha yang menutup usahanya, tak terkecuali perusahaan tempat Achmad bekerja.
Sejak dirumahkan, Achmad merasa kacau. Dari kantor, ia tak mendapatkan gaji. Padahal, ia masih punya tanggungan cicilan rumah. Alhasil, bulan berikutnya ia menggunakan seluruh tabungan yang tersisa. Pikirannya pun semakin kacau mana kala ia masih harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan nol penghasilan. Bulan berikutnya, Achmad sudah tidak dapat membayar cicilan rumah. Akhirnya, rumah pun ditarik karena tunggakan cicilan. Ia pergi dari rumah dengan sedikit uang hasil menjual beberapa barang.  
Achmad semakin kebingungan karena ia tidak bisa pulang ke kampung halaman. Larangan mudik untuk orang-orang dari zona merah seperti Jakarta ini nyatanya menyusahkan bagi dirinya. Mau menyewa rumah, ia tak mampu. Sebab, hingga kini ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu ia hidup dari jalan ke jalan. Dengan langkah gontai karena kelaparan, ia masuk ke sebuah pasar dengan maksud meminta pekerjaan atau makanan pada para pedagang. Namun, tak satu pun memberinya pekerjaan atau makanan. Ia justru diusir oleh para pedagang di pasar itu karena mengganggu kenyamanan. Gagal mendapatkan uang, ia nekat mencuri kue dari seorang pedagang karena badannya lemas dan perutnya semakin keroncongan. Alhasil ia pun dihajar massa hingga babak belur dan tak sadarkan diri.
Hari berikutnya, ketika membuka mata, Achmad telah berada di sebuah ruang perawatan rumah sakit. Ia masuk bukan sebagai pasien yang terpapar virus corona, melainkan luka-luka di sekujur tubuhnya. Sungguhpun harus menahan perih, ia justru bersyukur karena di sini ia mendapat ransum makanan gratis pagi, siang, dan malam selama perawatan. Tak terbayang bagaimana ia harus kembali menderita kelaparan ketika telah sembuh nanti.
Sore ini seorang dokter kembali memeriksa Achmad. Dengan senyum ramahnya sang dokter berkata,” Besok pagi Bapak sudah boleh pulang. Untuk biaya rumah sakit, Bapak tidak perlu khawatir karena sudah ditanggung sepenuhnya oleh orang-orang yang mengeroyok Bapak tempo hari.”
Mendengar itu hati Achmad justru sedih. Esoknya, ia segera berkemas meninggalkan rumah sakit. Sesampainya di halaman rumah sakit, kakinya seolah semakin tertancap. Ia bingung mau ke mana lagi. Dalam hati ia pun berbisik,” Aku akan kembali mencuri makanan di pasar. Jadi kalau dihajar dan luka-luka lagi, aku bisa dirawat di sini.”
Sesampainya di pasar, ia justru terkejut mendapati suasana pasar yang sepi karena ditutup dan tak ada aktivitas lagi. Ia pun bertanya kepada orang-orang sekitar. Rupanya, pasar ini tutup karena salah seorang pedagangnya terpapar virus corona dan meninggal dunia. Maka dari itu, seluruh pedagang dan orang-orang yang pernah datang ke sini sebelumnya akan melaksanakan rapid test. Achmad menjadi sangat sedih. Bukan lantaran pasar ditutup dan ia tak bisa mencuri, melainkan yang  terpapar virus corona tersebut adalah pedagang yang ia curi kuenya kala itu.
Melalui seseorang yang cukup mengenal pedagang tersebut, Achmad mendapatkan petunjuk alamat rumah dan di mana sang pedagang dimakamkan. Maka bergegaslah Achmad mendatangi makam pedagang tersebut. Di hadapan papan kayu bertuliskan nama sang pedagang, Achmad meminta ampunan. Ia pun bersumpah,” Lebih baik aku mati kelaparan daripada kenyang dari makanan hasil curian.”
Malam ini, takbir menggema di masjid-masjid penjuru ibu kota. Purnama bersinar terang seakan tersenyum turut menyambut hari lebaran. Purnama inilah yang menerangi langkah Achmad. Dengan sedikit kekuatan, ia bangkit mengais sisa-sisa makanan di sepanjang jalan. Seperti panjangnya jalanan yang dilaluinya seorang diri malam ini, perjalanan hidupnya pun sama panjang. Ia terus berjalan. Memandang purnama di sepanjang malam lebaran.

Minggu, 03 Mei 2020

Cerpen "Lelakiku di Ujung Sembilu"


Senja. Apakah yang tengah engkau cari? Kumpulan kata yang mencipta teduh, kota yang semakin riuh, ataukah kita yang kian rapuh?
Pasir putih itu membentang begitu panjang. Debur ombak yang baku hantam tidak dapat membuatnya berantakan. Bahkan, ketika sabit muncul di permukaan, biasnya tetap memantul dari butiran pasir basah sehabis bermandikan air asin. Dalam gulita malam yang tak sepantasnya membuat seorang wanita terduduk sendirian, ada gurat sendu yang meneriakkan penantian dari bibirnya yang seolah bisu.
Sehelai selendang bermotif bunga-bunga yang mulai lapuk dimakan usia dengan setia memeluk tubuh yang berbetah diri menatap ke ujung lautan tanpa takut ditelan karang. Ia berdiam saja, membiarkan udara malam mengecup mesra permukaan kulitnya meskipun tidak ada yang tahu bahwa pergolakan batin sedang menggerogoti sukmanya.
Kita berdiri di atas tebing curam nan menikam dengan begitu tajam. Ketika azan berkumandang, kita saling memandang. Antara azan yang berkumandang dan lonceng yang berdentang, antara kiblat yang menentukan arahku pulang dan altar yang membuatmu tenang, kita mengucap doa yang sama dengan Amin yang berbeda. Aku mencintaimu, meski tasbih di jemariku berbeda dengan salib di lehermu.

***

Ingatan adalah satu-satunya harta yang kupunya. Sebab itu, kusampaikan ini kepadamu sebelum manusia-manusia itu merampasnya dariku, seperti dulu keadaan merampasmu dariku.
Tidak akan ada yang mengerti tentang ini. Barangkali cuma jendela dan hujan yang mengerti. Dan Fransisco, tentu saja. Lelakiku satu itu memang teramat tampan. Gadis mana yang tak akan jatuh hati melihat keelokan parasnya?
Aku senang memberitahukannya segala sesuatu yang sederhana. Ya, seperti hujan di pagi ini. Pikirannya sudah amat rumit oleh banyak hal. Makanya, aku mengajaknya melihat hujan, menyentuh angin yang melewati sela-sela jemarinya yang dingin, dan menghirup udara yang kuyakini tak akan berumur panjang.
“Umur panjang untuk hidup yang begini-begini saja pastilah amat membosankan.” Itu kata Frans dulu, saat aku duduk di sampingnya sembari menikmati rinai hujan. Kutengadahkan tangan, lalu kuseka perlahan-lahan wajahnya dengan air nan dingin itu. Wajah flamboyan nan begitu rupawan itulah yang menjadi salah satu hal penting dari dirinya dan akan selalu aku rindukan saat jauh bersamanya.
“Berapa lama aku harus menunggu?”
Dagunya sedikit terangkat saat dia melontarkan pertanyaan untukku. Pertanyaan yang membuatku semakin sayang meski ada sedikit rasa bersalah. Lelaki ini tidak pernah mau membebaniku dengan perasaan bahwa aku yang pergi dan dia adalah orang yang pantas dikasihani karena ditinggalkan.
Dia menempatkan dirinya sebagai laki-laki yang memang sudah semestinya tak memaksakan apa yang dikehendakinya. Hanya menanyakan seberapa lama waktu yang dia perlukan untuk menjalani tugas menunggunya itu. Beginilah dia.
   “Tidak akan lama, Frans.”
   Kutatap matanya dalam-dalam untuk meyakinkan kekasihku. Meski di balik itu, aku tidak yakin dengan perkataanku sendiri. Seharusnya Frans tahu itu.

***

Hujan hari ini memang tidak ada capai-capainya. Jatuh terus sejak pagi. Tapi ini apa ya, siang atau sore? Atau masih pagi? Langitnya sama saja, hitam dan menakutkan. Bulu-bulu lenganku sampai tidak kelihatan kalau aku tidak mendekatkan diri ke jendela. Saking gelapnya, kalau hujan seperti ini hampir tidak ada orang berkeliaran. Cuma mobil-mobil yang berderet panjang di jalan besar sana. Tidak tahu sepanjang apa. Tapi, sejak tadi aku melihatnya hanya bergerak maju sedikit saja. Bahkan, kau tak akan tahu mobil itu sudah bergerak maju kalau tidak memperhatikannya dengan saksama dan dalam tempo yang lama.
Bumi mungkin sudah terlalu sesak. Orang-orang terlalu cepat melahirkan anak-anak. Apa yang bisa mereka perbuat? Cuma teriak-teriak. Tidak jelas. Bahasanya saja aneh-aneh. Maka jangan salahkan aku kalau sejak tadi ada dua bocah di ruangan ini yang hanya diam karena telah kumarahi. Kerjaannya tertawa dan ngomong keras-keras tanpa faedah. Membuyarkan pikiranku yang tengah serius mengerjakan tugas dari dosen saja.
Kedua bocah laki-laki ini, berbadan gempal. Salah satunya baik, suka tersenyum. Meski kadang aneh. Kalau aku sedang rindu dengan lelakiku, dia akan memperlihatkan benda yang ada orang bergerak di dalamnya.
Aku menyeruput cangkir kopiku untuk ke sekian kali. Lalu kuletakkan di atas meja, di samping laptop kecilku. Cuma ini penghilang penatku di rumah. Duduk menghadap jendela sambil memperhatikan manusia-manusia kecil itu berkejar-kejaran, seolah siap bersaing dengan dunia. Jendela kayu yang menghadap ke gang depan rumah mampu membuat mataku menatap jauh hingga ke jalan besar sana.
Ayah membangun rumah ini semakin besar, padat, dan mengkilap. Tiangnya yang dulu dibangun kokoh oleh kakek, diganti dengan beton. Di sana-sini dindingnya yang tebal, kaku, dan dingin telah diwarnai. Jendela samping inilah yang bersikeras kupertahankan. Tidak boleh diganti dengan besi ataupun ditambahkan kaca. Katanya aneh, jendela ini terlihat kecil untuk rumah yang semakin megah.

***

Hari selanjutnya, usai seharian hujan turun dengan derasnya, matahari bersinar walau masih tampak malu-malu. Namun, setidaknya seharian ini aku dapat menghabiskan waktu bersama Frans untuk mengatasi segala kepenatan usai seminggu belakangan kami dihajar oleh soal-soal ujian semester.
“Mau ke mana kita?” tanyaku pada Frans tatkala kami sampai di parkiran kampus.
“Hmmm...”
Aku menjadi kesal dengan jawabannya. Namun, ia justru tertawa geli dengan kekesalanku. Aku menjadi semakin kesal.
Lima belas menit kemudian kami sampai di sebuah mall tak jauh dari kampus. Frans menggenggam tanganku. Kami berjalan menuju lantai atas, memesan tiket untuk menonton film yang tengah diputar hari ini. Dan, dua buah tiket pun berhasil kami dapatkan. Frans menyuruhku duduk. Lalu ia memesan popcorn dan minuman sebelum kami menuju pintu teater yang telah dibuka.
“Gimana, masih kesal?” tanyanya padaku usai kami duduk di sesuai nomor kursi. Aku tersenyum sembari mencubit lengannya gemas. Dan kami pun larut dengan cerita dalam film itu hingga selesai diputar.

***

Frans adalah salah satu mahasiswa yang cerdas di kampus. Ia juga dikenal sangat aktif dalam berbagai organisasi di lingkungan kampus. Bahkan, ia berhasil menjadi ketua umum Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bahasa dan Seni. Posisi yang tentunya menjadi incaran tiap orang, dengan kepiawaiannya mudah saja ia dapatkan.
Sejak menjadi ketua HMJ, intensitas pertemuannya denganku pun semakin jarang. Ia menjadi semakin sibuk dengan kegiatannya yang baru. Pesan dan panggilan yang datang dariku pun seringkali dinomorsekiankan. Aku mengerti, bukan porsiku untuk menghalanginya berkegiatan. Selama itu hal yang positif, apapun yang dilakukannya tentulah kudukung sepenuhnya.
Seiring berjalannya waktu, kesetiaan menjadi sebuah ujian. Masih teringat jelas di benakku. Memasuki tahun ketiga, di penghujung bulan Januari, di mana hujan turun sehari-hari. Tatkala dua manusia memadu kasih dengan begitu indahnya, di saat itu pula badai pun mulai menerjang. Bak armada yang mulai terseok-seok di tengah lautan. Menunggu datangnya mukzizat sebelum ia karam.
Suatu sore nan mendung. Mungkin semendung hati yang tak bisa teringkari ketika kekasih yang begitu engkau cintai menggores luka nan menganga dengan membagi hati. Lantas, apakah engkau masih bisa percaya? Masihkah pintu maaf itu terbuka? Namun, bisakah hati kecilmu membiarkan ia melewati luka seorang sendiri tatkala berada di titik terendah dalam hidupnya? Jawabannya tentu tidak. Entah. Berapa pun besarnya luka yang tertoreh di relung hati, nyatanya cinta mampu membuka ruang-ruang maaf yang seolah tertutup rapat tiada bercelah.
Tahun itu menjadi tahun terberat yang mesti kulalui bersama Frans. Aku memutuskan untuk menerima Frans kembali dan mencoba melupakan segenap kesalahan yang telah ia lakukan. Di sisi lain,  aku juga semakin menyadari banyak hal bahwa semakin tinggi jam terbang, semakin banyak pula yang memberinya sanjungan, walau tak sedikit pula yang memberi ujaran mengandung kebencian.
Pencapaian gemilang yang berhasil ditorehkan Frans selama berkarier di organisasi kampus pun dengan berat hati harus ia relakan tatkala beberapa oknum berusaha menjatuhkan. Bahkan, hujatan-hujatan tajam pun bermunculan, menggiring opini miring sehingga orang-orang yang tak tahu-menahu banyak yang termakan omong kosong itu. Wajar, bila pada akhirnya ia merasa berada di titik terendah hidupnya saat itu. Begitulah hidup dan kehidupan.
“Tenang, kita akan melaluinya bersama.” Begitu kataku menguatkan.
“Terima kasih ya, kamu hadir untuk memberi dukungan dan kekuatan!” Demikian kata Frans kala itu. Ia menggenggam tanganku erat, seolah berkata tak ingin melepaskan.

***

Maafkan aku, Frans. Aku tak bisa menepati janjiku untuk terus bersamamu menjaga hati dalam hubungan nan pelik ini. Meski luka di relung hati tak bisa dipungkiri. Namun, tetap bertahan bukanlah sebuah pilihan. Kita adalah dua jiwa yang perih, tak kuasa melawan keadaan. Pada akhirnya, kita pun menyerah. Makanya, kita lebih memilih diam dan membiarkan semua terjadi dengan semestinya.
Ini adalah perjalanan yang berat. Aku akan membiarkannya pergi, melanjutkan kehidupan kami masing-masing. Perpustakaan kampus, di sinilah pertama kali aku bertemu dengan Frans, sosok yang perlahan menjelma menjadi kekasihku. Di sini pulalah terdapat sebuah taman, juga bangku kayu tempat kami sering menikmati hujan. Namun, di tempat ini pulalah yang akan menjadi tempat penuh kenangan.
Frans terus memandang wajahku dan pada akhirnya mengerti. Ia membiarkanku pergi menemui jalanku sendiri. Kita mungkin telah sampai di persimpangan jalan yang menukik dengan begitu tajam. Walau kutahu, jalan yang diambil ini sangat berat.
Aku tersenyum, tapi hatiku pedih, pedih sekali. Air mata pun tak kuasa kutahan. Kuusap jemari tangan Frans yang lembut. Untuk terakhir kali, aku tak sanggup menatap matanya. Aku yakin ia tak akan menangis saat ini. Lelaki flamboyan yang paling kucintai itu tidak pandai memperlihatkan kesedihannya.
“Mungkin aku tidak tahu rasanya ditinggalkan. Tapi, meninggalkanmu adalah sakit yang tak akan bisa kugambarkan dengan apapun di dunia ini.”


***

Aku terjebak di sebuah toko buku dan belum bisa pulang karena hujan belum juga reda. Tak jauh dari situ, ada sebuah kedai kopi yang memang tak asing lagi. Aku sering menghabiskan waktu di sini dulu, bertahun-tahun yang lalu. Jika pergi membuat kehilangan, maka pulang seharusnya menjadi penawar. Seharusnya. Ah, sudahlah, entah apa yang tiba-tiba merasuki pikiranku hingga dihujani bayang-bayang masa silam.
Sebuah meja kosong di ujung kedai pun kupilih untuk sejenak melepas lelah. Sembari menunggu moccacino panas, kubuka lembar demi lembar buku yang telah kubeli. Sungguh, tak ada yang mampu menandingi nikmatnya secangkir kopi ditemani sebuah buku tatkala hujan tiba. Tak berselang lama, sebuah pesan masuk di layar ponsel. Dari seorang kawan yang akan kuberikan undangan. Aku menunggunya di kedai itu sembari larut dengan frasa demi frasa yang membuat mata ini menari ke kanan dan ke kiri untuk menikmatinya.
“Permisi, Mbak, boleh saya duduk di sini?” tanya seseorang padaku.
“Oh, silakan saja, Mas!” jawabku sekenanya tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Yang kutahu, kedai ini semakin ramai. Maka tak ada salahnya berbagi meja dengan yang lainnya. Barangkali dia tak mendapat tempat duduk, begitu pikirku dalam hati. Sunyi, hingga akhirnya lelaki di mejaku itu kembali bersuara. Suara yang tak asing kedengarannya bagiku. Kuhentikan membacaku lalu menoleh ke arahnya. “Frans! Ya Tuhan, dia Frans. Benarkah demikian?”
Frans tersenyum ramah. Tangannya terjulur kepadaku. Aku menyambut uluran tangannya yang dingin di atas meja. Delapan tahun telah berlalu sejak kepergianku waktu itu. Namun, lelaki itu masih sama seperti dulu. Masih gagah dan menawan. Kami berbicara banyak hal selama tak bertemu hingga tiba di detik ini. Meski kami tidak bisa menikah, aku tetap mencintainya. Dia menyuruhku punya anak. Dia ingin melihat anak kecil hadir dalam hidupku. Tapi dengannya, tidak bisa. Mustahil katanya.
Tubuhku bergetar. Aku tak lagi menghiraukan kelanjutan perkataannya. Aku hanya memandang ke arah jendela, menyaksikan gerimis yang masih turun membasahi bumi. Frans ulurkan kembali tangannya untuk menyentuh pipiku yang kini basah oleh air mata yang tak lagi bisa tertahan.
Aku semakin terisak dalam dekapnya. Dan benar, saat matahari hendak terbenam, gerimis semakin deras, berubah menjadi hujan. Dan Frans, duduk menatapku sembari menguatkanku, mengulang kenangan lama, duduk di tepi jendela sembari menikmati hujan.
Frans memang tidak pernah pergi. Dia selalu menungguku. Menemaniku menikmati hujan bertahun-tahun berikutnya hingga tak mampu kuhitung lagi berada di tahun ke berapa kami sekarang ini? Tidak tahu. Tapi manusia-manusia semakin aneh. Aku menarik napas berat menatap jendela yang tertutup sebelum mobil benar-benar melaju.
Ingatanku masih utuh. Tak ada yang kulupakan sedikit pun. Tapi aku diam saja. Bagaimana pun aku tidak akan membiarkan seseorang mengganggu ingatanku yang sempurna ini. Semesta mempertemukan kita hanya untuk saling belajar, bukan saling bersandar.

Sabtu, 02 Mei 2020

Cerpen "Pulang"


Memilih jalan hidup sebagai seorang perantau memang tak semudah yang dibayangkan. Kesendirian adalah hal yang paling sering kurasakan. Jauh dari orang tua, sanak saudara, dan orang-orang yang dicinta merupakan sebuah keputusan hidup yang harus dijalani dengan gagah berani. Ratusan kilometer jarak yang membentang, mencipta kerinduan yang semakin hari semakin mendebarkan.
Kala datang waktu berkumpul  keluarga, di situlah kebahagiaan sejati itu tiba. Aku tentu masih ingat beberapa waktu yang lalu ketika pulang, aroma masakan ibu begitu menggoda, memanjakan lidah, tak bisa kutemui dalam keseharianku di tanah rantau ini. Sungguh, masakan paling istimewa. Aku juga ingat betul betapa bahagianya ia menyambutku datang dan begitu beratnya melepasku pergi. Laksana seekor induk merpati yang melepas anaknya terbang, mengudara bebas ke angkasa nan luas.
Anganku melayang ke awang-awang. Aku hanya bisa membayangkan, tapi tak berani merasakan. Bagaimana tidak, lebaran yang selalu identik dengan pulang, terasa amat jauh di angan setelah tempo hari perusahaan memutuskan bahwa aku tetap tinggal selama musim lebaran. Aku baru saja ingin merasakan euforia perjalanan menuju kampung halaman di detik-detik terakhir bulan ramadan. Namun, seketika semua itu terhempas sekejap mata. Apa daya, aku pun harus takhluk dibuatnya.
Lusa adalah malam lebaran. Sudah berhari-hari ini ponselku terus berdering. Suara yang tak asing lagi bagiku di seberang sambungan. Menanti kabar, kapankah aku kembali? Apa boleh buat, aku pun dengan berat hati mengatakan. Daripada aku memberi harapan yang tak pasti ujungnya lagi.
"Huuuhhhh," lenguhan panjang nafasku usai aku memberesi beberapa berkas di meja kerjaku.
"Sepertinya mukamu kusut sekali, kenapa?" tanya seorang teman.
"Ah, tidak. Hanya lelah saja," jawabku sekenanya.
"Kau bohong kan?"
"Aku ingin pulang, tapi apa daya. Ya sudahlah, terima saja." Seuntai senyum kecut tertoreh di bibirku. Ia menepuk-nepuk pundakku.
Keesokan harinya, kepala staf divisi memanggilku ke ruangannya. Ia mengecek sejauh mana pekerjaan yang telah kulakukan, mengingat jelang hari raya banyak perusahaan yang memberlakukan kinerja ekstra bagi para karyawannya.
Sebuah amplop cokelat diserahkan pagi itu padaku. Aku membukanya perlahan. Sebuah tiket perjalanan.
"Bersiaplah! Sore ini, kamu akan berangkat menuju kampung halaman," kata Kepala Staf Divisi seraya tersenyum padaku.
"Apa, Pak? Saya tidak salah?"
"Awalnya saya ingin memberlakukan lembur. Namun, berhubung kinerjamu baik dan memuaskan, saya rasa tak ada salahnya memberi kesempatan padamu untuk sejenak pulang. Toh itu kan yang kamu nantikan sedari kemarin?"
"Alhamdulillah! Terima kasih, Pak."
Aku menyalaminya dan undur diri. Sungguh tak mampu kulukiskan rasa di hatiku saat ini. Sesuatu yang kunantikan akan segera tiba. Rasanya tak sabar menyongsong esok hari bersama orang-orang yang kukasihi.
Jarak dan perjalanan yang ditempuh memang memberi cerita tersendiri. Tetapi, berbahagialah mereka yang saat ini berada jauh di tanah rantau. Semakin jauh dari orang tercinta, justru hati semakin dekat. Malam lebaran pun datang. Aku pulang.

Puisi "Pada Suatu Senja"

Telah kutitipkan rindu
Pada langit senja seteduh matamu
Satu hal yang tak engkau tahu
Selalu kusimpan namamu di sudut terdalam relung hatiku

Kita pernah tertawa bahagia
Berdua merajut indahnya asa
Membenamkan luka
Hingga lelah membuat kita lupa

Cinta pernah menyatukan
Ia pula yang mencipta kegetiran
Tatkala rasa tak lagi satu tujuan
Ada rasa mengalir larut pada keresahan

Pada jarak yang membelenggu
Engkau menjelma masa lalu
Biar sejenak menari dalam ingatanku
Sebelum terkubur bersama waktu

Puisi "Aku dan Secangkir Kopi"


Aroma kopi hitam
Tersaji di bawah naungan rembulan
Menerangi malam nan temaram

Pekat warnamu
Serupa bola mata yang telah menenggelamkanku
Jauh ke dasar hati itu

Pahit tersaji di lidah penikmat kopi
Tak sepahit janji yang pernah diucapkan
Namun tak pernah terwujudkan

Malam kian larut
Kopi hitam kian surut
Fajar pun bersambut

Semua yang terkenang
Terurai dalam air mata yang berlinang
Hingga fajar berganti siang

Menyisakan seteguk kopi
Kuseduh dalam kerapuhan sepi
Mengaduk murung di antara wajah berseri

Memberi pelajaran untuk dimengerti
Menjadikan pengalaman untuk dinikmati
Meloloskan perjalanan untuk disyukuri