Jumat, 18 November 2022

CATATAN PERJALANAN

 Tuhan, Sentuh Hatiku: Catatan Perjalanan 6


Kutulis surat ini teruntuk-Mu, Tuhanku, di kala hatiku sedang dilanda kegelisahan yang tak menentu. Aku tak tahu harus memulai dari mana. Namun, dalam doa diamku ini Engkau pasti memahami.

Ketika langkahku ingin terhenti, yang selalu kuingat bahwa aku telah berjalan hingga sejauh ini. Apakah selayaknya aku menyerah di tepian harapan, sementara bahuku senantiasa Engkau kuatkan?

Aku masih terus belajar, memperbaiki diri, meski terkadang hatiku pedih teriris. Aku masih berusaha mengukir asa di antara puing-puing rasa yang tersisa. Aku masih berusaha bangun tatkala terjatuh dan terjatuh lagi. Aku masih melakukan itu, Tuhan. Maafkan aku yang masih sering mengeluh pada-Mu. Di satu sisi, Engkau telah mengajariku, membimbing, dan membentukku menjadi sebuah bejana hati yang kuat, tak mudah goyah di tengah hempasan badai yang terus menerjang.

Aku ingin meleburkan segala beban di pundakku di dalam tiap sujudku pada-Mu. Aku ingin membenamkan segala keresahan, menggantinya menjadi sumber kekuatan yang akan membawaku terus berjalan sampai ke tujuan. Aku ingin membuktikannya pada-Mu bahwa aku bisa melakukannya tanpa keterpaksaan, hingga pada akhirnya semua mengarah pada bentuk rasa syukur bahwa di antara milyaran manusia di bumi ini, Engkau telah memilihku dan percaya bahwa aku bisa melewati ini semua.

Tuhan, sentuh hatiku yang masih beku, hingga kumenyadari segala keluputanku selama ini. Murnikan hatiku untuk menyadari arti dari sebuah kasih yang sejati, kasih yang tak pernah padam di segala kondisi, kasih yang selalu memberi laksana air mengalir yang tiada akan berhenti, seperti kasih yang selalu Engkau berikan tanpa pernah Kau harapkan untuknya kembali.

Ya Tuhan, betapa luas kasih-Mu, betapa hangat peluk-Mu yang selama ini Engkau berikan padaku. Engkau tak pernah meninggalkanku seorang diri, bahkan tatkala semesta ini membuatku menepi. Mungkin egoku yang masih tinggi atau aku yang tak mampu memahami segala rancangan yang telah Engkau buat dalam hidupku ini. Namun, percayalah, Tuhan, aku mencintai-Mu selalu. Aku menjadikan-Mu sandaran utama dalam hidupku.


Minggu, 23 Oktober 2022

Puisi "Belum Selesai"

Karya Gading Ramadhan Atmojo Nurtriadi


hembusan angin sepi antara kau dan aku

di manakah ia menemukan kesepian

yang ia bawa dalam tariannya

melihat ke atas langit

setelah menyeka ribuan asa

kubisa lihat ribuan biru

yang tak pernah begitu jelas di matamu


kautanya kapan kita kan bertemu

tak biasanya embun kudekap begitu lesu

celotehan sang penyiar pagi itu

apakah kamu melihatku?


tak biasanya kusapa dia mentari pagi

tapi kukatakan sampai jumpa esok hari

adakah rasa yang tersimpan rapi di hati?

ah, kan kusampaikan nanti walau misteri


jutaan bintang bersinar terang di angkasa

membawaku pada lautan noistalgia

di Puncak Klangon kuberkata

"Wahai malaikat penjaga, doakan aku sukses di sana!"


Magelang, 17 September 2022

Senin, 04 Juli 2022

Cerpen Jenggala

 Cerpen Jenggala

Secarik kertas dibalik. Ketika mata ini melirik, memori lampau kembali menyapa. Lantas kubuka buku kenangan lama. Teringat beberapa kisah awal ketika diri belum ada sama sekali bekal.

Semburat senja telah tampak di barisan cakrawala. Melesapkan panasnya hawa dengan sekejap mata. Waktu memanglah gesit. Jikalau tak mampu menangkap walau hanya sedikit, niscaya penyesalan memerangkap. Ruginya bukan main. Bahkan, sampai ada tekanan batin.

Kalau kembali kuingat, perjalanan selama tiga tahun terakhir ini terasa begitu cepat. Aku bersiap pergi menjejakkan kaki ke jenjang yang lebih tinggi. Di sanalah aku akan menempa diri, menjalani kerasnya perjalanan nan hakiki, hingga kelak menjadi manusia sejati. Namun, sebelum meninggalkan kota ini, izinkanlah aku menumpahkan sepenggal rasa dalam baris-baris frasa yang telah kurangkai sedemikian rupa.

Hujan mengguyur, licin membuatku tercebur. Aku ada di antara sekian banyak siswa baru yang datang pada pagi itu. Gerbang telah dibuka. Di sana, Bapak dan Ibu Guru telah bersiap menyambut para siswa yang mulai berdatangan. Seutas senyuman tersungging di bibirku. Ya, inilah tempatku menimba ilmu dalam tiga tahun yang akan datang.

Denting waktu terus berjalan. Aku menikmati tiap detik momen yang terjadi di sekolah baru ini. Di sini aku mulai memperoleh kawan. Merekalah yang pada akhirnya nanti menggoreskan tawa yang mewarnai hari-hariku dengan penuh arti.

Semua berjalan sebagaimana mestinya, hingga pada suatu ketika datanglah pandemi yang tiada disangka-sangka. Segala sesuatu yang tadinya berjalan dengan normal menjadi penuh liku dan tantangan. Ternyata, menyesuaikan diri dengan keadaan seperti ini tidaklah mudah, terutama dampak yang terasa adalah dalam menyerap sari-sari ilmu. Tak ada lagi tawa dan canda di ruang-ruang kelas yang kurasakan tiap-tiap pagi. Kelas-kelas pun seolah merintih sepi tak berpenghuni.

Suatu hari di tahun ajaran baru, aku telah beranjak ke jenjang kelas berikutnya. Namun, pandemi belum juga usai. Aku ibarat sebuah kapal nan runtuh hingga tak mampu berlabuh. Sampai pada suatu ketika, aku bertemu dengan Bu Melda, wali kelasku yang baru. Darinya aku mulai menempa kembali serpihan-serpihan harapan untuk menyongsong masa depan.

Bu Melda. Ibu telah memperhatikan diri ini yang tak bisa apa-apa. Datang dari jauh, menyulap yang rapuh menjadi utuh. Tatkala kegelapan lautan menghampiri hingga membuatku gemetar, Bu Melda menjadi mentari nan membimbing diri agar tak mudah gentar walau petir menyambar. Jarum kompas rancu berulang. Namun, Bu Melda menjadi rasi bintang agar kapal ini tetap bisa berlayar.

Hari-hari penuh persiapan jelang ujian pun terus berpacu dalam waktu. Ada kalanya aku kembali dirubung ketakutan. Namun, kucoba meyakinkan diri, berpedoman pada doa dan keyakinan akan ada cahaya setelah kegelapan. Bak pelangi selepas hujan.

Ingatan itu melesat kembali pada hari ini, hari di mana esok aku akan mulai menjalani langkah baru. Sudah terlampau banyak yang terkenang hingga bingung bagaimana lagi yang harus kuungkapkan. Secuil cerita dari perjalanan hidupku nan panjang. Kelak akan menjadi suatu bab yang tertuang dalam buku catatan. Kutahu kata-kata ini berbelit-belit karena ini cukup rumit.

Masih kuingat nasihat dari Bu Melda, “Sukses adalah sebuah perjalanan. Nikmati, jalani, dan syukuri setiap tahapan dari perjalanan itu sendiri hingga kamu akan menjadi manusia baru yang lebih tangguh dan unggul dari sebelumnya.” Inilah yang akan menjadi bekalku untuk menguatkan hati, melangkah esok hari.

Aku mungkin belum bisa memberi apa-apa untuk semesta yang sudah memberiku banyak hal nan berharga. Aku hanya bisa menggumam seuntai doa agar selalu bahagia, diberi sehat sentosa, dan selalu dijaga Yang Maha Esa. Kelak, aku bisa menjadi jenggala yang memberi kesejukan, juga lentera yang akan selalu bersinar dalam kegelapan.

 

~selesai~

Jumat, 22 April 2022

Terima Kasih, Ramadan: Catatan Perjalanan 5

 Terima Kasih, Ramadan: Catatan Perjalanan 5

Tuhan, izinkan aku kali ini menuliskan cerita perjalanan hidupku yang telah terlewati selama satu tahun ke belakang ini. Sebuah perjalanan yang tentunya tidak begitu saja berlalu dengan mudah. Bahkan, terkadang aku merasa lelah dan hampir menyerah. Setahun ini berlalu dengan jalan yang penuh dengan liku-liku. Dimulai dengan kondisi pandemi yang tak kunjung usai, kegiatan belajar mengajar di sekolah yang masih banyak dilakukan secara daring, bahkan puncaknya ketika covid-19 menyerang Bapak beberapa waktu usai lebaran yang lalu, itu adalah saat yang paling berat, terus melekat dalam ingatanku hingga detik ini bagaimana crowded-nya situasi dan kondisi rumah sakit ketika itu. Setiap hari hati ini dipenuhi dengan ketakutan dan hanya bisa terisi dengan air mata yang terus berlinang.

Aku bersyukur kepada-Mu, ternyata Engkau masih memberi kesempatan kepada keluargaku untuk kembali utuh seperti dahulu. Namun, kondisi tak selesai sampai di situ. Beberapa bulan setelahnya aku sering mengeluhkan kondisi tubuhku yang terus saja bergejolak tak menentu. Di antara kescemasanku, aku memberanikan diri untuk memeriksakan diri ke rumah sakit di mana rumah sakit itulah yang senantiasa mengingatkanku pada hal yang teramat menyedihkan beberapa waktu sebelumnya. Melalui serangkaian tes yang dilakukan, dokter pun mengatakan bahwa aku terkena Cystitis atau Infeksi Saluran Kencing. Hal itu membuatku harus melakukan rawat jalan hingga akhirnya aku dinyatakan sembuh. Sungguh, Tuhan, itu semua menguras segala kesedihan di hatiku.

Aku bersembunyi di balik tawa yang terus saja mengembang. Namun, hatiku terasa perih, Tuhan. Dan masalah-masalah yang terus saja terjadi yang tak dapat kutuliskan di sini. Tuhan, dalam beratnya masa perjuangan, Engkau memberiku ruang melalui sebuah kesempatan terkait perjalanan karier yang selama ini kutekuni. Karena kasih-Mu lah aku berhasil membuktikan bahwa aku mampu berada di titik ini. Aku mampu bersaing dengan yang lain untuk mendapatkan apa yang selama ini banyak diidamkan oleh setiap orang. Jika bukan karena Engkau, aku tak akan pernah berhasil. Dan tentu saja satu hal yang tak akan pernah kulupa, doa ibuku yang tak pernah putus untukku. Tanpanya aku tak akan pernah mendapatkan kekuatan.

Tuhan, di hari baik dan bulan nan baik juga pada bulan Ramadan, Engkau telah memberikan anugerah yang selama ini aku impikan. Sungguh, Tuhan, kali ini aku ingin menangis sekuat hati di hadapan-Mu. Bukan lagi menangisi kelemahanku, melainkan menangis atas rasa syukur tak terkira atas kasih-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berharap Engkau memberikanku hati nan lapang, mengasah segala kekuatannya dalam menghadapi setiap persoalan, diberi keluasan hati agar sabar dalam menjalani setiap inchi kehidupan, mampu tegar dalam menatap masa depan, memiliki keikhlasan dalam setiap hal yang terjadi dalam kehidupan, serta terangkat derajat kehidupanku ke depan.

Aku berjanji pada-Mu, Tuhan, apa yang telah Engkau berikan padaku ini akan kujalani dengan sepenuh hati, hingga tiada lagi tangisan meratapi apa yang telah dan sedang terjadi, berganti dengan tangisan syukur bahwa aku masih bisa berada di titik ini karena Engkau percaya aku mampu melaluinya kini, esok, ataupun nanti.

Terima kasih, Ramadan Kareem, 1443 H tahun 2022 ini. Denganmulah aku kembali bisa menenangkan hati dari segala risau yang selama ini terjadi. Izinkan aku kembali menemuimu di tahun-tahun yang akan datang, Ramadan.