Pertemuan yang Dirindukan
Rinai hujan perlahan
turun membasahi bumi. Gemericik air telah menggantikan warna jingga yang selalu
muncul kala sore tiba. Saat di mana selalu kunanti, berdiri memandang senja
hingga malam tiba dan berganti langit bertabur bintang-bintang nan bercahaya.
Namun, sedari tadi langit tampak murung. Puncaknya sore ini, ia seolah tak
kuasa lagi membendung kesedihannya. Lalu tumpahlah segala kegundahan yang
dirasakannya. Hujan memang selalu membawa keberkahan di setiap tetesannya,
terlebih bagi para penikmatnya.
Musim penghujan telah
tiba. Tampaknya akan cukup sulit dijumpai, bercengkrama dengan bebasnya di
bawah naungan langit senja. Bagiku, senja adalah saat yang paling istimewa.
Semburat warna kuning keemasan yang bergradasi di baris cakrawala menciptakan
pemandangan nan memesona. Cahayanya selalu membuatku tertunduk tenang. Kadang
juga terasa menyejukkan. Entah, seketika cahaya itu bagaikan tempat nan syahdu
tuk melepas jubah penuh dengan hiruk pikuk kehidupan. Di lain waktu, cahaya itu
pun semakin mekar, sesaat setelah aku berada tepat di depannya. Menyambutku
dengan ketulusan tiada tara.
Namaku Raga Pratama.
Orang-orang memanggilku Raga, sebuah nama yang melekat begitu saja tanpa kutahu
bagaimana sejarahnya. Seringkali aku menghabiskan waktu pada sore hari untuk
sekadar menimati senja. Sebab, senja senantiasa memberi cerita yang tak akan
pernah bisa kulupakan, tentang jalan di hidupku yang berliku, memberi kabut
pekat yang tiada pernah surut dimakan waktu, kemudian membenamkanku.
***
Sore itu, seorang anak
laki-laki berusia tiga tahun, digenggam erat oleh seorang wanita yang kira-kira
berusia 25 tahun menuju sebuah bangunan. Bangunan itu kecil dan sederhana.
Namun, kehangatan begitu nyata terasa tatkala masuk ke dalamnya. Di dalam
bangunan itu tampak wanita tadi tengah berbincang serius dengan seorang wanita
lainnya. Sedangkan anak kecil dalam genggamannya tampak diam, tak mengerti apa
yang sedang mereka perbincangkan.
“Kamu di sini dulu.
Nanti aku kembali lagi,” kata wanita
tersebut.
“Aku tidak mau di
sini,” rengek si anak laki-laki tadi dengan wajah mulai sembab.
“Baik-baik di sini dan
jangan nakal!”
Lalu wanita itu pun
melepas genggamannya dan beranjak meninggalkan bangunan kecil itu tanpa
memedulikan isak tangis dan jeritan dari anak laki-laki yang sedari tadi
memanggilnya. Ia terus berjalan, tanpa menoleh ke belakang, hingga menghilang
di balik senja.
Panti Asuhan “Kasih
Ibu” kini kembali diramaikan dengan hadirnya seorang anak laki-laki pada senja
ini. Bunda Erika, begitu biasa ia disapa, merupakan pengurus panti asuhan yang
kini memiliki sekitar lima belas anak asuh ini. Paras elok dan tutur nan lembut
melengkapi keanggunan wanita yang kini berusia 32 tahun itu. Wajahnya selalu
bercahaya karena berhias senyum nan menawan. Tak heran, ia begitu disayangi
oleh anak-anak di sini. Dan anak kecil yang baru datang senja tadi terus saja
menangis dalam pelukannya.
***
“Dokter, seorang pasien
kecelakaan baru saja tiba,” seorang suster memberi kabar lewat sambungan
telepon.
“Baik, Sus, saya segera
ke sana.”
Aku melangkahkan kaki
menyusuri koridor rumah sakit
nan
sepi. Sebagai dokter bedah yang
bertugas di kota
besar seperti ini, hampir tiada hari yang terlewati tanpa kuberkutat di meja
operasi. Aku sadar akan tugas dan tanggung jawabku secara penuh, bukan
semata-mata karena sumpah yang telah kuemban dari pertama aku dinobatkan.
Pasien terakhirku hari
ini, seorang perempuan paruh baya. Entah
kenapa, saat pertama aku menjumpainya ada perasaan yang bergejolak dalam dada. Siapa
dia? Mengapa dia tampak berbeda dari pasien-pasienku lainnya? Ah, entahlah, mungkin
ini hanya perasaanku saja.
Kulepas jas putih yang
melingkupi tubuhku. Sejenak kurebahkan diri di sebuah sofa biru dalam ruang
kerjaku nan sepi. Lelah menggelayuti tubuh ini. Terlebih usai operasi yang
cukup menguras tenaga dan pikiranku. Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu yang
seolah membawaku ke dimensi waktu dua puluh lima tahun yang lalu di mana aku
menghabiskan hari-hariku di sebuah rumah kecil nan sederhana di pinggiran kota
bernama “Kasih Ibu”.
Hari-hari menjadi
sangat berat untuk dilalui. Anak laki-laki dalam usia sekecil itu harus memikul
beban berat. Ia menjadi pemurung dan selalu menghabiskan waktu pada sore hari
untuk menyaksikan matahari terbenam di sebuah bangku kecil di depan bangunan
sederhana itu, berharap wanita yang membawanya ke sini tempo hari akan datang
dan menjemputnya pulang. Namun, kenyataannya tak pernah sekali pun ia kembali
seperti apa yang dijanjikannya tatkala pergi. Ribuan perasaan pun berkecamuk di
relung hati. Perasaan yang semula menyayangi, perlahan tapi pasti berubah jadi membenci, benci oleh sebuah janji
yang terucapkan namun tak jua terwujudkan.
Waktu terus berjalan.
Tak terasa, sudah hampir setahun anak laki-laki itu menjadi penghuni di sini.
Ia masihlah sama. Cahaya di wajahnya begitu redup. Ia hanya suka bercengkrama
dengan senja. Hingga suatu ketika, datanglah sepasang suami-istri yang baik
hati. Mereka membawa anak laki-laki itu pergi. Dari sanalah seberkas cahaya di
wajah itu mulai berpendar. Sebab, sepasang suami-istri itu nyata-nyata rela
memberikan segala yang terbaik baginya. Dimulai dari situlah, kehidupan anak
laki-laki kecil itu berubah seutuhnya.
Tik...
Tok...Tik...Tok....
Sebuah pesan masuk yang
tertera di layar ponsel membuyarkan ingatanku. Kulirik arloji yang melingkar di
tanganku. Pukul 17.30. Rupanya sudah cukup lama aku berdiam diri di sofa ini.
Aku pun bergegas meninggalkan rumah sakit. Kupacu mobilku membelah jalanan kota nan padat merayap. Matahari telah pulang
ke peraduan. Burung-burung terbang kembali ke sarang. Lampu-lampu jalanan mulai
menghias kota, menciptakan panorama nan indah memanjakan mata.
***
“Pagi, Bu! Bagaimana,
sudah enakan?” tanyaku ramah. Ia mengangguk dan tersenyum padaku.
“Dokter Raga?” Ia
tampak sedikit terkejut melihat nama yang tertera pada jas putih yang
kukenakan.
“Ya?” tanyaku tak
mengerti.
“Ah, tidak. Aku hanya
teringat sesuatu setelah melihat nama itu.”
“Pasti dia adalah orang
yang istimewa.” Aku menimpali sembari memeriksa keadaannya. Ia hanya tersenyum.
Sudah lima hari ia dirawat si sini. Jika tak ada kendala, lusa ia sudah boleh
pulang. “Di mana dia? Dari pertama Ibu datang, saya tidak menjumpai
siapa-siapa.” Kulihat mendung seketika menyelimuti wajahnya. Aku mengerti dan
tak berani bertanya lebih jauh lagi, takut melukai perasaannya. “Oh, iya, ini saatnya minum obat.
Diminum teratur ya, supaya Ibu lekas pulih seperti sedia kala. Biar nanti
suster membawakannya ke sini. Saya harus memeriksa pasien yang lain dulu. Saya
tinggal dulu ya, Bu!” pamitku diikuti anggukan darinya.
“Dokter......” ucapnya
sesaat setelah aku mulai melangkahkan
kaki. “Jika saja dia masih ada, pasti dia sudah seusia Dokter. Begitulah
kiranya.
Kebetulan namanya juga sama, Raga.”
“Oh, ya?” Aku
mengernyitkan dahi, memikirkan sesuatu. Tak lama, seorang suster datang. Aku
pun berlalu dari ruang rawat-inap itu.
***
Aku kembali menjumpai pasien-pasienku, tak terkecuali
wanita paruh baya itu. Hari ini ia sudah diperbolehkan pulang. Kulihat guratan wajahnya begitu kusut. Ada apa gerangan? Sejauh mataku memandang, tak tampak satu pun keluarga yang datang
menjemputnya pulang.
“Ibu baik-baik saja kan?” Ia hanya mengangguk. “Siapa yang menjemput Ibu
pulang?” tanyaku sekali lagi.
“Aku tinggal sendirian. Jadi, tak ada seorang pun yang akan datang.”
“Keluarga Ibu? Putra mungkin.”
“Mungkin dia ada di sini.” Ia hanya memandangiku.
“Ke mana Ibu akan pulang?”
“Aku tak tahu,” jawabnya.
Aku terdiam, tak mampu memahami. Begitu banyak pertanyaan yang ingin kusampaikan.
Namun, justru tercekat di tenggorokan. Entah, seketika hati ini bergejolak, seakan turut
merasakan apa yang dia rasakan.
“Ibu tunggu di sini hingga selesai saya bertugas sore nanti!” Aku pun bergegas
melanjutkan tugasku dan meninggalkannya seorang diri.
Sore ini, aku melajukan mobilku di sebuah tempat cukup jauh dari pusat
kota. Aku menyusuri kembali jejak-jejak masa lalu.
Kulangkahkan kaki menuju gerbang sebuah bangunan di mana bertahun-tahun yang
lalu aku menghabiskan hidupku di tempat itu. Bangunan ini sudah banyak
direnovasi sana dan sini. Mataku berkelana ke sana ke mari dan menangkap sebuah
sudut di mana dulu aku sering berkeluh kesah tatkala senja tiba. Tak jauh dari
sudut itu tampak sekumpulan anak tengah bermain dengan riang. Seakan tak peduli
latar belakang kehidupan semula, mereka membaur dalam satu nuansa, beratapkan
langit yang perlahan bersinar keemasan di ufuk barat.
“Masih mau berdiri saja
di sini?” Sebuah suara yang tak asing membuyarkanku. Bunda Erika. Sudah lama
tak kujumpainya. Ia masih saja mengenaliku sekalipun masa demi masa telah
menumbuhkan banyak uban di kepalanya. Aku mencium tangannya, kemudian ia
membawaku ke beranda bangunan itu.
“Bagaimana kabar
Bunda?”
“Kau lihat sendiri kan,
bagaimana Bundamu ini masih sama kuatnya dengan yang dulu?” Aku terkekeh. “Mama
Papamu sehat kan?” Aku mengangguk. “Pasti Pak Dokter satu ini sangatlah sibuk
sehingga lama tak bersua.”
“Untuk satu hal itu,
sungguh maafkan aku, Bunda. Percayalah, sesibuk apapun, aku tak akan pernah
melupakan Bunda!” Bunda Erika tersenyum.
Kami bertukar cerita
dan bercengkrama selayaknya ibu dan anak yang tengah melepas rindu. Jauh
daripada itu, sejujurnya aku harus berperang hebat melawan hatiku yang terus
saja meronta-ronta tiap kali muncul sosok wanita itu. Jantungku berdebar kuat.
Kuingin melupakan. Namun tetap saja ia muncul dalam pikiranku dan terus
menghantui sepanjang hidupku. Hidup ini sungguh lucu. Aku
terombang-ambing di sebuah pusaran kuat masa lalu yang tak mudah untukku keluar
dan melepaskan. Ibu. Seorang wanita telah melahirkanku ke dunia. Namun, tak
pernah sekalipun aku bisa memeluknya, berkeluh kesah padanya. Di satu sisi ada
Mama, sosok wanita yang selalu menyayangiku dengan segenap kasihnya. Menghujaniku
dengan cinta nan tiada tara, meski aku tak pernah terlahir dari rahimnya. Ia
memberiku segalanya. Bagaimana bisa takdir mempermainkanku
dengan begitu hebat? Ah, sudahlah, aku tak ingin semakin berdebat dengan hati
dan pikiranku sendiri.
“Oh, ya, hari ini aku
datang dengan seorang teman.”
“Teman?” tanya Bunda
Erika keheranan.
“Ayo, Bun, dia ada di
depan!” ajakku pada Bunda Erika. Lalu aku bangkit dan berjalan ke arah mobil
yang sedari tadi terparkir di depan. Kubuka kaca jendela. Bersamaan dengan itu
tampaklah seorang wanita paruh baya berusia lima puluh tahunan. Aku ingin
memperkenalkannya kepada Bunda Erika. Namun, apa yang terjadi, keduanya justru
bersitatap dengan tegang.
“Tidak..... ini tidak
mungkin terjadi,” kata wanita itu.
“Ibu...........” Bunda
Erika pun tak dapat melanjutkan kata-katanya. Aku heran. Apa yang terjadi
dengan mereka?
“Bunda kenal dengan Ibu
ini?” tanyaku penasaran.
“Jadi kamu sudah
bertemu dengan ibumu, Nak?”
“Ibuku? Maksud Bunda
apa?” Aku tak mengerti. Kulihat wanita yang datang bersamaku itu juga tampak
kaget.
“Raga, anak laki-laki
berusia tiga tahun saat pertama dibawa ke tempat ini, inilah anak laki-laki
itu,” terang Bunda Erika.
“Raga? Diakah anak
laki-laki itu? Dokter yang merawatku selama ini adalah putraku sendiri? Ya
Tuhan, kau sudah sebesar dan segagah ini, Nak!” Ia hendak meraih tubuhku. Aku
menepisnya. Tidak. Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa seorang pasien yang
kurawat dengan tanganku sendiri ternyata adalah ibuku? Seorang wanita yang
selama ini selalu aku nanti dalam hidupku tapi juga seorang wanita yang telah
tega menghempaskanku. Aku berencana memberi kejutan untuk Bunda Erika. Tapi
mengapa justru diriku sendirilah yang terkejut? Aku terdiam, tak mampu mencerna
sebuah peristiwa besar yang sedang terjadi saat apa yang kurasa kemudian
membuatku nyaris terkapar tak berdaya. Panah sembilu menghujan jantungku. Aku
tak kuasa menopang raga di atas kakiku. Jantungku berguncang hebat hingga
getarannya pun mampu menghunus langit. Awan pun bergolak dan tangisnya pecah
berhamburan ke bumi. Bumi menengadah setiap kenangan pahit yang terurai
kembali. Hati yang utuh itu hancur perlahan menjadi butiran debu ketika panah
itu menancap di kalbu
***
“Saat tak punya segala
sesuatu untuk bersandar, kita masih punya sajadah untuk bersujud.” Sebuah suara
sayup-sayup terdengar di ujung telingaku. Kubuka perlahan kedua mata ini. Suara
azan mulai terdengar, diiringi kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan.
Hari telah pagi.
Semua yang kulewati
telah membawaku sampai ke sini, sebuah pesantren kecil ratusan kilometer dari
kotaku. Entah apa yang menyebabkan aku lari sejauh ini. Lari? Ya, mungkin
begitulah. Lebih tepatnya, aku ingin menenangkan diriku dari hingar bingar
kehidupan yang merantai erat diriku.
“Nak, serahkan segala
kau rasakan pada dia yang memberimu hidup dan kehidupan!” seru seorang ustaz
padaku. Aku diam, tak bergeming. Ia menyerahkan sebuah sajadah kepadaku.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Ambillah air wudu,
lalu tenangkan hati dalam sujudmu!”
Dadaku bergetar di atas
sajadah. Pada bait-bait doa yang kurapalkan, ada luka yang terus mengoyak perih.
Aku tak ingin seseorang pun tahu. Aku takut, mereka akan terbunuh bila
melihatku. Bagiku, kepedihan dan luka bukan dihadirkan untuk membuat kekacauan,
tetapi untuk merasakan ketenteraman dan kebahagiaan. Walau kutahu, bukan usaha
yang mudah untuk melewati dan menakhlukkan luka itu sendiri.
Aku ingin
menyembunyikan segala perihku agar orang-orang tak perlu mengucapkan kata-kata
yang tak mereka pahami. Meskipun aku sudah melakukan upaya-upaya kebaikan di
jalan peribadatan, belum tentu yang aku temui adalah orang-orang yang baik yang
mengimani nilai yang sama denganku. Aku kembali terdiam.
Hari-hari kulalui di
sini, mendekatkan diri pada sang Ilahi. Benar saja, perlahan luka itu
berangsur-angsur luruh. Kutemukan kesejukan hati tiap kali kurapalkan ayat-ayat
suci. Ada kedamaian yang menyemai di sanubari. Seorang ustaz kembali menghampiriku
pagi ini.
“Bagaimana keadaanmu,
Nak?”
“Alhamdulillah, sudah
lebih baik, Ustaz. Terima kasih ya, sudah membimbing saya selama ini.”
“Berterima kasihlah
pada yang Kuasa. Sebab tanpa pertolongan-Nya kau tak akan pernah sampai di
detik ini!” Aku tersenyum dan mengangguk.
Pagi ini, aku sudah
memutuskan untuk kembali. Aku menyadari bahwa setiap takdir yang terjadi harus
kita lalui. Dan segala permasalahan yang terjadi memberikan pendewasaan yang
hakiki. Aku berpamitan kepada seluruh penghuni pesantren di sini yang telah
menerimaku selama beberapa hari terakhir ini. Saatnya aku pergi dan kembali.
***
Sebuah kereta melaju
cepat. Aku duduk di pinggir jendela sembari memandang ke luar. Sawah ladang
menghijau, bukit-bukit menjulang tinggi, sungai-sungai membentang dan
menghampar sejauh mata memandang. Sungguh kuasa Tuhan yang tak terelakkan. Aku
semakin merasa kecil dan tak berdaya di hadap-Nya. Sebuah perjalanan yang tak
akan pernah kulupakan.
Kereta terus melaju
hingga tibalah ia di sebuah stasiun. Aku turun dan mencari sebuah taksi. Taksi
pun melaju, membelah jalannya kota nan padat. Pemandangan yang lumrah terjadi
di kota besar seperti ini. Taksi pun berhenti di sebuah rumah.
Tampak di situ mama berlari-larian menyambutku datang. Ia tampak cemas setelah
tak mendapati kabar putra kesayangannya berhari-hari. Aku menjelaskan apa yang
terjadi dan mama pun mengerti. Lalu ia mengajakku ke sebuah tempat. Rumah
sakit.
“Aku sedang tidak
bertugas, Ma!”
“Menemui seseorang,”
katanya.
Aku terpaku, duduk
terdiam meratapi sosok yang tak berdaya kaku. Kulihat sorot wajah nan pucat
dengan guratan wajah yang tak bergeming. Sesaat, kesentuh jemari tangannya yang
dingin, kukecup wajahnya yang putih pucat. Lidahku terasa kelu meski ada
seuntai rasa yang ingin aku ungkapkan padanya.
“Beberapa waktu yang
lalu, saat kau pergi, ia berusaha mencarimu. Kami berusaha mencari ke mana-mana
dengan cara yang berbeda. Namun naas, pada siang itu, sebuah kendaraan
menghantamnya. Ia pun dilarikan ke rumah sakit ini,” terang Mama.
Aku berdiri, menjauh, dan terus melangkahkan
kaki. Kupejamkan mata untuk meraih ketegaran, mencapai kesabaran hati, dan
menerimanya tanpa sepatah kata. Aku kembali. Ingin rasanya kumemeluk tubuhnya,
berharap dia kembali, tapi dia diam saja dan membiarkan dirinya pergi.
“Kembalilah, ajari aku untuk menjadi sosok
yang kuat, yang tangguh bak karang yang terus dihajar ombak di lautan nan curam
yang akan menghiasi hidupmu untuk selamanya,” kataku dengan deraian air mata.
Mama menenangkanku. Lalu kupeluk Mama dan menumpahkan segala rasa.
Kubuka sebuah surat
kecil yang ditulis olehnya. Sebuah tulisan yang dititipkannya pada mama
beberapa waktu yang lalu.
Hargai
orang lain seperti mereka menghargaimu. Berusahalah yang terbaik dan jangan
pernah menyerah. Buatlah orang lain bangga padamu. Jangan kau menyakiti orang
lain karena pasti suatu saat nanti engkau akan tersakiti. Jangan berusaha untuk
menjadi yang terbaik, tetapi berusahalah semampumu untuk melakukan yang terbaik.
Maafkanlah
aku. Mungkin aku memang tak pantas memelukmu, apalagi kau sebut sebagai ibumu.
Tapi aku sangat menyayangimu, sampai kapan pun tetap menyayangimu. Sayangi Mamamu,
seseorang yang telah membesarkanmu dengan ketulusan.
Demikian pesan terakhir
darinya yang pernah aku ingat. Kerongkonganku tercekat. Aku tak sanggup lagi
mengungkapkan segala yang kurasakan. Inilah aku, menjadi remuk tak berdaya, dan
sosok yang terus memeluk luka dambaan hati yang lara.
<> selesai <>