Kamis, 16 Januari 2020

Cerpen "Pertemuan yang Dirindukan"


Pertemuan yang Dirindukan

Rinai hujan perlahan turun membasahi bumi. Gemericik air telah menggantikan warna jingga yang selalu muncul kala sore tiba. Saat di mana selalu kunanti, berdiri memandang senja hingga malam tiba dan berganti langit bertabur bintang-bintang nan bercahaya. Namun, sedari tadi langit tampak murung. Puncaknya sore ini, ia seolah tak kuasa lagi membendung kesedihannya. Lalu tumpahlah segala kegundahan yang dirasakannya. Hujan memang selalu membawa keberkahan di setiap tetesannya, terlebih bagi para penikmatnya.
Musim penghujan telah tiba. Tampaknya akan cukup sulit dijumpai, bercengkrama dengan bebasnya di bawah naungan langit senja. Bagiku, senja adalah saat yang paling istimewa. Semburat warna kuning keemasan yang bergradasi di baris cakrawala menciptakan pemandangan nan memesona. Cahayanya selalu membuatku tertunduk tenang. Kadang juga terasa menyejukkan. Entah, seketika cahaya itu bagaikan tempat nan syahdu tuk melepas jubah penuh dengan hiruk pikuk kehidupan. Di lain waktu, cahaya itu pun semakin mekar, sesaat setelah aku berada tepat di depannya. Menyambutku dengan ketulusan tiada tara.
Namaku Raga Pratama. Orang-orang memanggilku Raga, sebuah nama yang melekat begitu saja tanpa kutahu bagaimana sejarahnya. Seringkali aku menghabiskan waktu pada sore hari untuk sekadar menimati senja. Sebab, senja senantiasa memberi cerita yang tak akan pernah bisa kulupakan, tentang jalan di hidupku yang berliku, memberi kabut pekat yang tiada pernah surut dimakan waktu, kemudian membenamkanku.
                         
***
    
Sore itu, seorang anak laki-laki berusia tiga tahun, digenggam erat oleh seorang wanita yang kira-kira berusia 25 tahun menuju sebuah bangunan. Bangunan itu kecil dan sederhana. Namun, kehangatan begitu nyata terasa tatkala masuk ke dalamnya. Di dalam bangunan itu tampak wanita tadi tengah berbincang serius dengan seorang wanita lainnya. Sedangkan anak kecil dalam genggamannya tampak diam, tak mengerti apa yang sedang mereka perbincangkan.
“Kamu di sini dulu. Nanti aku kembali lagi,” kata wanita  tersebut.
“Aku tidak mau di sini,” rengek si anak laki-laki tadi dengan wajah mulai sembab.
“Baik-baik di sini dan jangan nakal!”
Lalu wanita itu pun melepas genggamannya dan beranjak meninggalkan bangunan kecil itu tanpa memedulikan isak tangis dan jeritan dari anak laki-laki yang sedari tadi memanggilnya. Ia terus berjalan, tanpa menoleh ke belakang, hingga menghilang di balik senja.
Panti Asuhan “Kasih Ibu” kini kembali diramaikan dengan hadirnya seorang anak laki-laki pada senja ini. Bunda Erika, begitu biasa ia disapa, merupakan pengurus panti asuhan yang kini memiliki sekitar lima belas anak asuh ini. Paras elok dan tutur nan lembut melengkapi keanggunan wanita yang kini berusia 32 tahun itu. Wajahnya selalu bercahaya karena berhias senyum nan menawan. Tak heran, ia begitu disayangi oleh anak-anak di sini. Dan anak kecil yang baru datang senja tadi terus saja menangis dalam pelukannya.

***

“Dokter, seorang pasien kecelakaan baru saja tiba,” seorang suster memberi kabar lewat sambungan telepon.
“Baik, Sus, saya segera ke sana.”
Aku melangkahkan kaki menyusuri koridor rumah sakit nan sepi. Sebagai dokter bedah yang bertugas di kota besar seperti ini, hampir tiada hari yang terlewati tanpa kuberkutat di meja operasi. Aku sadar akan tugas dan tanggung jawabku secara penuh, bukan semata-mata karena sumpah yang telah kuemban dari pertama aku dinobatkan.
Pasien terakhirku hari ini, seorang  perempuan paruh baya. Entah kenapa, saat pertama aku menjumpainya ada perasaan yang bergejolak dalam dada. Siapa dia? Mengapa dia tampak berbeda dari pasien-pasienku lainnya? Ah, entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja.
Kulepas jas putih yang melingkupi tubuhku. Sejenak kurebahkan diri di sebuah sofa biru dalam ruang kerjaku nan sepi. Lelah menggelayuti tubuh ini. Terlebih usai operasi yang cukup menguras tenaga dan pikiranku. Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu yang seolah membawaku ke dimensi waktu dua puluh lima tahun yang lalu di mana aku menghabiskan hari-hariku di sebuah rumah kecil nan sederhana di pinggiran kota bernama “Kasih Ibu”.
Hari-hari menjadi sangat berat untuk dilalui. Anak laki-laki dalam usia sekecil itu harus memikul beban berat. Ia menjadi pemurung dan selalu menghabiskan waktu pada sore hari untuk menyaksikan matahari terbenam di sebuah bangku kecil di depan bangunan sederhana itu, berharap wanita yang membawanya ke sini tempo hari akan datang dan menjemputnya pulang. Namun, kenyataannya tak pernah sekali pun ia kembali seperti apa yang dijanjikannya tatkala pergi. Ribuan perasaan pun berkecamuk di relung hati. Perasaan yang semula menyayangi, perlahan tapi pasti berubah jadi membenci, benci oleh sebuah janji yang terucapkan namun tak jua terwujudkan.
Waktu terus berjalan. Tak terasa, sudah hampir setahun anak laki-laki itu menjadi penghuni di sini. Ia masihlah sama. Cahaya di wajahnya begitu redup. Ia hanya suka bercengkrama dengan senja. Hingga suatu ketika, datanglah sepasang suami-istri yang baik hati. Mereka membawa anak laki-laki itu pergi. Dari sanalah seberkas cahaya di wajah itu mulai berpendar. Sebab, sepasang suami-istri itu nyata-nyata rela memberikan segala yang terbaik baginya. Dimulai dari situlah, kehidupan anak laki-laki kecil itu berubah seutuhnya.
Tik... Tok...Tik...Tok....
Sebuah pesan masuk yang tertera di layar ponsel membuyarkan ingatanku. Kulirik arloji yang melingkar di tanganku. Pukul 17.30. Rupanya sudah cukup lama aku berdiam diri di sofa ini. Aku pun bergegas meninggalkan rumah sakit. Kupacu mobilku membelah jalanan kota nan padat merayap. Matahari telah pulang ke peraduan. Burung-burung terbang kembali ke sarang. Lampu-lampu jalanan mulai menghias kota, menciptakan panorama nan indah memanjakan mata.

***
    
“Pagi, Bu! Bagaimana, sudah enakan?” tanyaku ramah. Ia mengangguk dan tersenyum padaku.
“Dokter Raga?” Ia tampak sedikit terkejut melihat nama yang tertera pada jas putih yang kukenakan.
“Ya?” tanyaku tak mengerti.
“Ah, tidak. Aku hanya teringat sesuatu setelah melihat nama itu.”
“Pasti dia adalah orang yang istimewa.” Aku menimpali sembari memeriksa keadaannya. Ia hanya tersenyum. Sudah lima hari ia dirawat si sini. Jika tak ada kendala, lusa ia sudah boleh pulang. “Di mana dia? Dari pertama Ibu datang, saya tidak menjumpai siapa-siapa.” Kulihat mendung seketika menyelimuti wajahnya. Aku mengerti dan tak berani bertanya lebih jauh lagi, takut melukai perasaannya. “Oh, iya, ini saatnya minum obat. Diminum teratur ya, supaya Ibu lekas pulih seperti sedia kala. Biar nanti suster membawakannya ke sini. Saya harus memeriksa pasien yang lain dulu. Saya tinggal dulu ya, Bu!” pamitku diikuti anggukan darinya.
“Dokter......” ucapnya sesaat setelah aku mulai melangkahkan kaki. “Jika saja dia masih ada, pasti dia sudah seusia Dokter. Begitulah kiranya. Kebetulan namanya juga sama, Raga.”
“Oh, ya?” Aku mengernyitkan dahi, memikirkan sesuatu. Tak lama, seorang suster datang. Aku pun berlalu dari ruang rawat-inap itu.

***

Aku kembali menjumpai pasien-pasienku, tak terkecuali wanita paruh baya itu. Hari ini ia sudah diperbolehkan pulang. Kulihat guratan wajahnya begitu kusut. Ada apa gerangan? Sejauh mataku memandang, tak tampak satu pun keluarga yang datang menjemputnya pulang.
“Ibu baik-baik saja kan?” Ia hanya mengangguk. “Siapa yang menjemput Ibu pulang?” tanyaku sekali lagi.
“Aku tinggal sendirian. Jadi, tak ada seorang pun yang akan datang.”
Keluarga Ibu? Putra mungkin.
“Mungkin dia ada di sini.” Ia hanya memandangiku.
“Ke mana Ibu akan pulang?”
“Aku tak tahu,” jawabnya.
Aku terdiam, tak mampu memahami. Begitu banyak pertanyaan yang ingin kusampaikan. Namun, justru tercekat di tenggorokan. Entah, seketika hati ini bergejolak, seakan turut merasakan apa yang dia rasakan. 
“Ibu tunggu di sini hingga selesai saya bertugas sore nanti!” Aku pun bergegas melanjutkan tugasku dan meninggalkannya seorang diri.
Sore ini, aku melajukan mobilku di sebuah tempat cukup jauh dari pusat kota. Aku menyusuri kembali jejak-jejak masa lalu. Kulangkahkan kaki menuju gerbang sebuah bangunan di mana bertahun-tahun yang lalu aku menghabiskan hidupku di tempat itu. Bangunan ini sudah banyak direnovasi sana dan sini. Mataku berkelana ke sana ke mari dan menangkap sebuah sudut di mana dulu aku sering berkeluh kesah tatkala senja tiba. Tak jauh dari sudut itu tampak sekumpulan anak tengah bermain dengan riang. Seakan tak peduli latar belakang kehidupan semula, mereka membaur dalam satu nuansa, beratapkan langit yang perlahan bersinar keemasan di ufuk barat.
“Masih mau berdiri saja di sini?” Sebuah suara yang tak asing membuyarkanku. Bunda Erika. Sudah lama tak kujumpainya. Ia masih saja mengenaliku sekalipun masa demi masa telah menumbuhkan banyak uban di kepalanya. Aku mencium tangannya, kemudian ia membawaku ke beranda bangunan itu.
“Bagaimana kabar Bunda?”
“Kau lihat sendiri kan, bagaimana Bundamu ini masih sama kuatnya dengan yang dulu?” Aku terkekeh. “Mama Papamu sehat kan?” Aku mengangguk. “Pasti Pak Dokter satu ini sangatlah sibuk sehingga lama tak bersua.”
“Untuk satu hal itu, sungguh maafkan aku, Bunda. Percayalah, sesibuk apapun, aku tak akan pernah melupakan Bunda!” Bunda Erika tersenyum.
Kami bertukar cerita dan bercengkrama selayaknya ibu dan anak yang tengah melepas rindu. Jauh daripada itu, sejujurnya aku harus berperang hebat melawan hatiku yang terus saja meronta-ronta tiap kali muncul sosok wanita itu. Jantungku berdebar kuat. Kuingin melupakan. Namun tetap saja ia muncul dalam pikiranku dan terus menghantui sepanjang hidupku. Hidup ini sungguh lucu. Aku terombang-ambing di sebuah pusaran kuat masa lalu yang tak mudah untukku keluar dan melepaskan. Ibu. Seorang wanita telah melahirkanku ke dunia. Namun, tak pernah sekalipun aku bisa memeluknya, berkeluh kesah padanya. Di satu sisi ada Mama, sosok wanita yang selalu menyayangiku dengan segenap kasihnya. Menghujaniku dengan cinta nan tiada tara, meski aku tak pernah terlahir dari rahimnya. Ia memberiku segalanya. Bagaimana bisa takdir mempermainkanku dengan begitu hebat? Ah, sudahlah, aku tak ingin semakin berdebat dengan hati dan pikiranku sendiri.
“Oh, ya, hari ini aku datang dengan seorang teman.”
“Teman?” tanya Bunda Erika keheranan.
“Ayo, Bun, dia ada di depan!” ajakku pada Bunda Erika. Lalu aku bangkit dan berjalan ke arah mobil yang sedari tadi terparkir di depan. Kubuka kaca jendela. Bersamaan dengan itu tampaklah seorang wanita paruh baya berusia lima puluh tahunan. Aku ingin memperkenalkannya kepada Bunda Erika. Namun, apa yang terjadi, keduanya justru bersitatap dengan tegang.
“Tidak..... ini tidak mungkin terjadi,” kata wanita itu.
“Ibu...........” Bunda Erika pun tak dapat melanjutkan kata-katanya. Aku heran. Apa yang terjadi dengan mereka?
“Bunda kenal dengan Ibu ini?” tanyaku penasaran.
“Jadi kamu sudah bertemu dengan ibumu, Nak?”
“Ibuku? Maksud Bunda apa?” Aku tak mengerti. Kulihat wanita yang datang bersamaku itu juga tampak kaget.
“Raga, anak laki-laki berusia tiga tahun saat pertama dibawa ke tempat ini, inilah anak laki-laki itu,” terang Bunda Erika.
“Raga? Diakah anak laki-laki itu? Dokter yang merawatku selama ini adalah putraku sendiri? Ya Tuhan, kau sudah sebesar dan segagah ini, Nak!” Ia hendak meraih tubuhku. Aku menepisnya. Tidak. Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa seorang pasien yang kurawat dengan tanganku sendiri ternyata adalah ibuku? Seorang wanita yang selama ini selalu aku nanti dalam hidupku tapi juga seorang wanita yang telah tega menghempaskanku. Aku berencana memberi kejutan untuk Bunda Erika. Tapi mengapa justru diriku sendirilah yang terkejut? Aku terdiam, tak mampu mencerna sebuah peristiwa besar yang sedang terjadi saat apa yang kurasa kemudian membuatku nyaris terkapar tak berdaya. Panah sembilu menghujan jantungku. Aku tak kuasa menopang raga di atas kakiku. Jantungku berguncang hebat hingga getarannya pun mampu menghunus langit. Awan pun bergolak dan tangisnya pecah berhamburan ke bumi. Bumi menengadah setiap kenangan pahit yang terurai kembali. Hati yang utuh itu hancur perlahan menjadi butiran debu ketika panah itu menancap di kalbu

***

“Saat tak punya segala sesuatu untuk bersandar, kita masih punya sajadah untuk bersujud.” Sebuah suara sayup-sayup terdengar di ujung telingaku. Kubuka perlahan kedua mata ini. Suara azan mulai terdengar, diiringi kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan. Hari telah pagi.
Semua yang kulewati telah membawaku sampai ke sini, sebuah pesantren kecil ratusan kilometer dari kotaku. Entah apa yang menyebabkan aku lari sejauh ini. Lari? Ya, mungkin begitulah. Lebih tepatnya, aku ingin menenangkan diriku dari hingar bingar kehidupan yang merantai erat diriku.
“Nak, serahkan segala kau rasakan pada dia yang memberimu hidup dan kehidupan!” seru seorang ustaz padaku. Aku diam, tak bergeming. Ia menyerahkan sebuah sajadah kepadaku.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Ambillah air wudu, lalu tenangkan hati dalam sujudmu!”
Dadaku bergetar di atas sajadah. Pada bait-bait doa yang kurapalkan, ada luka yang terus mengoyak perih. Aku tak ingin seseorang pun tahu. Aku takut, mereka akan terbunuh bila melihatku. Bagiku, kepedihan dan luka bukan dihadirkan untuk membuat kekacauan, tetapi untuk merasakan ketenteraman dan kebahagiaan. Walau kutahu, bukan usaha yang mudah untuk melewati dan menakhlukkan luka itu sendiri.
Aku ingin menyembunyikan segala perihku agar orang-orang tak perlu mengucapkan kata-kata yang tak mereka pahami. Meskipun aku sudah melakukan upaya-upaya kebaikan di jalan peribadatan, belum tentu yang aku temui adalah orang-orang yang baik yang mengimani nilai yang sama denganku. Aku kembali terdiam.
Hari-hari kulalui di sini, mendekatkan diri pada sang Ilahi. Benar saja, perlahan luka itu berangsur-angsur luruh. Kutemukan kesejukan hati tiap kali kurapalkan ayat-ayat suci. Ada kedamaian yang menyemai di sanubari. Seorang ustaz kembali menghampiriku pagi ini.
“Bagaimana keadaanmu, Nak?”
“Alhamdulillah, sudah lebih baik, Ustaz. Terima kasih ya, sudah membimbing saya selama ini.”
“Berterima kasihlah pada yang Kuasa. Sebab tanpa pertolongan-Nya kau tak akan pernah sampai di detik ini!” Aku tersenyum dan mengangguk.
Pagi ini, aku sudah memutuskan untuk kembali. Aku menyadari bahwa setiap takdir yang terjadi harus kita lalui. Dan segala permasalahan yang terjadi memberikan pendewasaan yang hakiki. Aku berpamitan kepada seluruh penghuni pesantren di sini yang telah menerimaku selama beberapa hari terakhir ini. Saatnya aku pergi dan kembali.

***

Sebuah kereta melaju cepat. Aku duduk di pinggir jendela sembari memandang ke luar. Sawah ladang menghijau, bukit-bukit menjulang tinggi, sungai-sungai membentang dan menghampar sejauh mata memandang. Sungguh kuasa Tuhan yang tak terelakkan. Aku semakin merasa kecil dan tak berdaya di hadap-Nya. Sebuah perjalanan yang tak akan pernah kulupakan.
Kereta terus melaju hingga tibalah ia di sebuah stasiun. Aku turun dan mencari sebuah taksi. Taksi pun melaju, membelah jalannya kota nan padat. Pemandangan yang lumrah terjadi di kota besar seperti ini. Taksi pun berhenti di sebuah rumah. Tampak di situ mama berlari-larian menyambutku datang. Ia tampak cemas setelah tak mendapati kabar putra kesayangannya berhari-hari. Aku menjelaskan apa yang terjadi dan mama pun mengerti. Lalu ia mengajakku ke sebuah tempat. Rumah sakit.
“Aku sedang tidak bertugas, Ma!”
“Menemui seseorang,” katanya.
Aku terpaku, duduk terdiam meratapi sosok yang tak berdaya kaku. Kulihat sorot wajah nan pucat dengan guratan wajah yang tak bergeming. Sesaat, kesentuh jemari tangannya yang dingin, kukecup wajahnya yang putih pucat. Lidahku terasa kelu meski ada seuntai rasa yang ingin aku ungkapkan padanya.
“Beberapa waktu yang lalu, saat kau pergi, ia berusaha mencarimu. Kami berusaha mencari ke mana-mana dengan cara yang berbeda. Namun naas, pada siang itu, sebuah kendaraan menghantamnya. Ia pun dilarikan ke rumah sakit ini,” terang Mama.
 Aku berdiri, menjauh, dan terus melangkahkan kaki. Kupejamkan mata untuk meraih ketegaran, mencapai kesabaran hati, dan menerimanya tanpa sepatah kata. Aku kembali. Ingin rasanya kumemeluk tubuhnya, berharap dia kembali, tapi dia diam saja dan membiarkan dirinya pergi.
 “Kembalilah, ajari aku untuk menjadi sosok yang kuat, yang tangguh bak karang yang terus dihajar ombak di lautan nan curam yang akan menghiasi hidupmu untuk selamanya,” kataku dengan deraian air mata. Mama menenangkanku. Lalu kupeluk Mama dan menumpahkan segala rasa.
Kubuka sebuah surat kecil yang ditulis olehnya. Sebuah tulisan yang dititipkannya pada mama beberapa waktu yang lalu.
Hargai orang lain seperti mereka menghargaimu. Berusahalah yang terbaik dan jangan pernah menyerah. Buatlah orang lain bangga padamu. Jangan kau menyakiti orang lain karena pasti suatu saat nanti engkau akan tersakiti. Jangan berusaha untuk menjadi yang terbaik, tetapi berusahalah semampumu untuk melakukan yang terbaik.
Maafkanlah aku. Mungkin aku memang tak pantas memelukmu, apalagi kau sebut sebagai ibumu. Tapi aku sangat menyayangimu, sampai kapan pun tetap menyayangimu. Sayangi Mamamu, seseorang yang telah membesarkanmu dengan ketulusan.
Demikian pesan terakhir darinya yang pernah aku ingat. Kerongkonganku tercekat. Aku tak sanggup lagi mengungkapkan segala yang kurasakan. Inilah aku, menjadi remuk tak berdaya, dan sosok yang terus memeluk luka dambaan hati yang lara.

<> selesai <> 


Cerpen "Senja di Batas Kota"


Senja di Batas Kota

Suasana kantor mulai sepi, menyisakan Alea seorang diri. Ia masih berkutat dengan tumpukan berkas di meja kerjanya. Beberapa di antaranya masih perlu ia perbaiki. Tak mau menunda-nunda hingga esok hari, malam ini pun diputuskannya untuk lembur. Bahkan jika perlu sampai dini hari.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 21.00. Namun, kesibukan justru serasa baru dimulai. Suasana kantor cukup mendukung baginya untuk terus merevisi bagian demi bagian tulisan yang dirasanya masih kurang. Sebagai salah satu penulis novel ternama, kualitas dari tulisan menjadi poin penting yang tak pernah luput dari perhatian. Itulah sebabnya, novel-novel yang dihasilkannya selalu menjadi best seller dan banyak diburu orang. Ia pun telah meraih berbagai penghargaan dan mendapat tempat tersendiri di sebuah kantor penerbitan ternama di kotanya yang banyak menerbitkan buku-buku populer dengan pengarang-pengarang yang tentunya tak kalah populer.
Hari ini, usai menerima naskah dari editornya, Alea pun bergegas memperbaiki agar tak butuh waktu lama novel terbarunya bisa kembali diterbitkan. Ia menargetkan akhir tahun ini novelnya sudah bisa dinikmati para pembaca di toko-toko buku yang tersebar di penjuru kota.
“Jangan terlalu serius, Al!” Sebuah suara yang tiba-tiba terdengar pun cukup membuat Alea tersentak.
“Abi, sejak kapan kamu ada di sini?” tanya Alea keheranan.
“Perlu secangkir kopi?”
“Ah, ya, terima kasih, Bi!” Alea pun tersenyum seraya menyeruput kopi yang diam-diam telah dipersiapkan Abi.
“Masih banyak yang perlu direvisi?” Abi pun duduk di samping Alea. Ia mengamati sejenak layar laptop pujaan hatinya tersebut.
“Hmm, lumayanlah!”
Senja di Batas Kota. Sebuah judul yang menarik.”
Alea menghentikan aktivitasnya. Judul dalam tulisannya itu membuat matanya memejam sejenak, teringat akan sesuatu. Sebuah memori usang kembali terngiang. Ada sosok yang amat ia rindukan meski kini tiada lagi hadirnya di sisi. Hatinya seolah meronta memanggil namanya. Seutas senyuman membayang, menghadirkan keteduhan tiap kali mata memandang. Setiap waktu dalam hidupnya yang telah berlalu, ia berjuang keras tanpa mengenal lelah. Satu-satunya harta berharga yang Alea miliki di dunia usai kepergian kedua orang tuanya. Dialah sang kakak, sosok yang selalu ada di sampingnya, menjaga laksana malaikat yang telah dipersiapkan Tuhan untuknya.

***

Matahari mulai beranjak menuju peraduan. Burung-burung gereja pun berarak pulang ke sarang. Cahaya meredup, berganti pias lampu kota yang tak pernah sunyi. Yogyakarta memang selalu menjadi magnet yang mampu menarik hati siapa pun untuk menakhlukkannya. Kota budaya dengan segala kompleksitasnya bagaikan dua mata pisau yang siap sedia melukai ataupun melindungi.
Senja itu, sama dengan senja-senja biasanya. Tak ada yang istimewa bagi dua orang kakak-beradik yang tengah mengais rezeki di sepanjang Jalan Malioboro. Recehan demi recehan mereka kumpulkan dari hasil menyemir sepatu selama seharian penuh. Bekerja mulai dari matahari terbit hingga terbenam lagi nyatanya tak menjadi jaminan pundi-pundi yang mereka kumpulkan menumpuk. Hujan, panas, debu, dan peluh pun terurai menjadi satu. Semua menjadi makanan sehari-hari yang harus dinikmati. Tak jarang, kakak-beradik itu pulang dengan tangan hampa, sebab tak sepeser pun uang mereka dapatkan. Sebuah ironi hidup yang mau tak mau harus dijalani.
Masih dalam suasana senja, kakak-beradik yang bernama Ditra dan Naya itu pun segera mengakhiri kegiatan mereka, kembali ke rumah petak yang walaupun hanya beralaskan kardus seadanya tetap terasa istimewa.
“Alhamdulillah, akhirnya kita bisa kembali ke rumah. Aku capai sekali, Kak, rasanya,” ucap Naya seraya mengusap peluh di dahinya.
“Ya sudah, kamu langsung istirahat saja,” sahut sang kakak, Ditra.
“Kak, hasil yang aku dapatkan hari ini sedikit sekali!” Ia pun tampak sedih.
“Tidak apa-apa, Nay, berapa pun hasil yang kita dapatkan harus tetap disyukuri. Hari ini kita makan nasi dan ikan asin pemberian ibu-ibu tadi pagi ya!”
“Yah, tiap hari makan nasi dan ikan asin terus. Aku bosan, Kak! Sekali-sekali tak bisakah kita makan nasi dan ayam goreng?”
“Naya, nanti ya kalau uang yang terkumpul sudah mencukupi. Kamu tahu sendiri kan kita tak punya banyak uang.”
“Ya sudah, Kak, mau bagaimana lagi.”
Ditra hanya bisa tersenyum getir. Betapa pun perih dan nestapa yang harus dirasakan, ia tak ingin menyerah. Secercah asa terus ia genggam, berharap suatu ketika ia kan menemukan jalan. Nuraninya terus bergejolak menyaksikan adik semata wayangnya hidup dalam kesusahan. Ia tak ingin adiknya menderita. Namun apa daya, jalan hidup menakdirkannya demikian. Kalau tak bekerja, bagaimana bisa makan? Bekerja seharian penuh saja terkadang hanya bisa untuk makan sekali.
Malam nan temaram. Seberkas sinar rembulan menjadi penerang sebuah gubuk reot yang terletak di bawah jembatan. Gubuk itu hanya dihuni Ditra dan adiknya. Di dalam, Naya sudah tertidur lelap, menyisakan Ditra yang masih terjaga dan meratap. Ia duduk di luar, memandang jauh ke arah bintang-bintang nan menghiasi angkasa. Bintang itu seolah menjadi pelengkap langit yang gelap. Pikirannya pun mengawang jauh, membayangkan seandainya ayah dan ibunya masih ada, ia dan adiknya tak akan hidup terlunta-lunta.
Tepat setahun yang lalu, menjadi hari yang tak akan pernah terlupa dalam hidup Ditra. Pagi itu berjalan seperti biasa. Ayah dan ibunya yang merupakan penjual nasi uduk di emperan kaki lima dekat Stasiun Tugu, Jogja, bersiap menjemput rezeki. Sang adik yang masih terlelap tidur pun mulai menggeliat dari peraduannya. Bocah berusia tujuh tahun itu segera bangkit dan bersiap ke sekolah bersama sang kakak. Keduanya pun akhirnya berjalan dengan penuh semangat menuju sekolah. Pintu gerbang menyambut kehadiran mereka. Lalu mereka menuju kelas masing-masing untuk mengikuti pelajaran setelah bel masuk dibunyikan. Tak lama berselang, kabar tak mengenakkan pun datang. Seorang guru memberi kabar kepada Ditra bahwa ayah dan ibunya mengalami kecelakaan. Sebuah bus kota yang melaju dengan kencangnya menghantam gerobak dagangan ayah dan ibunya hingga gerobak itu pun hancur tak beraturan. Tak sampai di situ, ayah dan ibu Ditra juga harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi mereka kritis. Laksana terhunus pedang nan tajam, sakit di relung kalbu pun menghujam.
Air mata dan peluh bercucuran. Tubuh Ditra kelu menyaksikan dua orang yang amat dicintainya terbaring tak berdaya. Dingin. Kedua tubuh itu pada akhirnya dingin, membiru, dan kaku. Pergi. Mereka akhirnya pergi untuk selamanya, meninggalkan Ditra dan Naya yang kala itu tak tahu apa yang tengah terjadi. Ditra hanya bisa menangis sembari mendekap adiknya erat.
Perih adalah kenyataan yang harus ia telan. Bersama Naya, ia pun mulai berjuang untuk melanjutkan kehidupan. Jalan di depan menukik dengan begitu tajam. Rumah yang selama ini dihuni, nyatanya terhempas begitu saja tatkala sang pemilik rumah lebih memilih mengontrakkannya kepada penghuni yang baru. Alhasil, ia pun terusir dari rumah kenangan itu.
Sudah beberapa bulan terakhir ini Ditra dan Naya bekerja menjadi penyemir sepatu. Mereka berkeliling menjajakan jasanya di kompleks Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, berharap para karyawan yang berlalu lalang di situ berkenan menggunakan jasa yang ditawarkan. Kejamnya  kehidupan membuatnya memutar otak dengan begitu keras. Naya. Ya, sang adiklah satu-satunya alasan yang membuatnya bertahan dan terus berjalan menapaki lika-liku kehidupan.
Oh Tuhan, sampai kapankah semua ini mampu kutanggung sendirian? Berilah aku kekuatan, Ya Tuhan. Aku hanya ingin bangkit, menghancurkan segala rintangan, meraih ketegaran agar kelak mampu menggapai impian dan mengukir seutas senyuman untuk ayah serta ibu di surga karena melihatku di sini telah bahagia. Izinkan aku, oh Tuhan!
Ditra mengeluarkan sebuah catatan kecil. Lalu ia pun menggores baris demi baris buku tersebut dengan pena kecil dalam genggaman. Ia mencurahkan segenap yang dirasakannya melalui sebuah puisi.

Purnama

Malam teduh
Dinaungi sinar rembulan nan utuh
Dua jiwa kian rapuh
Matamu menatap cakrawala
Mengukir segenap cinta
Berteman purnama
Berdua...
Kita membayangkan suatu masa
Di mana tawa diukir semesta
Namun sirna sekejap mata
Mata indah itu pun memejam
Beristirahat dalam damai
Meninggalkan dunia nan ramai
Kita berpelukan
Segala debar tak beraturan
Segenap luka tak terperikan

Ada banyak hal yang ingin sekali Ditra ungkapkan. Namun, ia hanya dapat mencurahkan pada malam yang kian temaram, berteman cahaya rembulan nan menyusup di antara tumpukan kardus bekas tempatnya bernaung kini. Ia kembali tersenyum. Perih. Tak terasa bulir-bulir air mata pun jatuh membasahi pipi. Ia membiarkannya begitu saja hingga angin malam terasa kian menusuk kulit. Ditra pun beranjak menuju tempat di mana adiknya telah terlelap tidur, mengamati sejenak wajah nan lugu dan tak berdaya itu, menyeka sisa-sisa air mata, lalu terbaring di sampingnya.
Andai aku bisa menulis sepucuk surat, kan kutulis sepenggal rinduku pada ayah dan ibu. Mungkin mereka sudah bahagia di sana.”
Begitulah yang ada dalam pikirannya. Bersama doa yang terus terlantun dari bibirnya,  Ditra pun memejamkan mata.

***

Pagi menjelang. Ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Sayup-sayup suara azan pun menggema di telinga. Suhu udara cukup dingin, membuat siapa pun enggan beranjak ke mana-mana. Namun, tidak bagi Ditra. Segera ia bergegas mengambil air wudu dan menunaikan kewajiban utamanya sebagai seorang muslim.
“Nay, ayo lekas ambil air wudu!” seru Ditra seraya membelai lembut rambut Naya.
“Kak...”
“Ayo, Nay, jangan bermalas-malasan, nanti kita kehilangan waktu!”
Naya pun bangkit dan mengambil air wudu. Lalu mereka salat berjamaah. Dalam hening mereka berserah, melangitkan doa-doa, dan berharap semesta pun turut mengaminkannya.
Sebelum berangkat menyemir sepatu, Ditra menuju sebuah warung makan tak jauh dari gubuknya. Ada sedikit pekerjaan yang bisa ia lakukan, mencuci piring-piring kotor, lalu ia akan mendapatkan dua bungkus nasi plus lauk sebagai upah. Lumayan, ia dan adiknya bisa mengisi perut sebelum memulai aktivitasnya hingga senja tiba.
Kota mulai menggeliat. Di sana-sini orang-orang berlalu lalang menuju kesibukannya masing-masing. Keadaan ini cukup menguntungkan bagi Ditra karena satu atau dua orang akan mampir dan menyemirkan sepatunya. Mereka yang tak punya cukup waktu walau sekadar menyemir sepatu tentunya akan merasa terbantu. Ditra tak mematok harga khusus untuk jasanya ini. Berapa pun uang yang pelanggan berikan, akan ia terima dengan lapang dada.
Keberuntungan rupanya sedang memihak Ditra dan Naya. Selembar lima puluh ribuan diterimanya dari tangan seorang wanita cantik berusia sekitar 28 tahun yang menyemirkan sepatunya. Jarang-jarang Ditra mendapatkan uang sebanyak ini. Beberapa orang yang menyemirkan sepatunya pun terkadang tak sampai dua puluh ribu jika dihitung-hitung. Wanita itu juga memberikan bungkusan berisi makanan yang tadi dibelinya sebelum masuk kantor. Katanya, ia sering melihat Ditra dan Naya di sekitar kantor tempatnya bekerja.
 Matahari semakin memecut kulit. Kakak-beradik itu pun beristirahat sejenak, mencari tempat untuk berteduh. Cacing-cacing mulai menari-nari, pertanda mereka harus segera mengisi perut. Dibukalah bungkusan yang sedari tadi dalam genggaman. Nasi dengan ayam goreng lengkap dengan sayur-mayurnya pun siap menggoyang lidah. Aromanya semakin membangkitkan selera. Seutas senyum tampak mengembang di bibir Ditra menyaksikan Naya begitu riang karena apa yang selama ini diinginkannya terpenuhi, ayam goreng. Maka, segeralah disantap makanan itu dengan begitu lahapnya.
Ditra dan Naya berlari-lari kecil, kemudian duduk di pinggiran rel kereta dekat Stasiun Tugu Jogja sembari menghitung jumlah uang yang mereka dapatkan.
“Alhamdulillah, Nay, hari ini kita dapat enam puluh ribu rupiah,” ucap Ditra dengan penuh syukur. Jumlah yang cukup banyak dibandingkan hari biasa. Sebagian uang itu disimpannya. Lalu ia merapikan peralatan menyemirnya dan menggandeng tangan Naya menuju sebuah surau kecil tak jauh dari pinggiran rel kereta. Ia memasukkan selembar uang sepuluh ribuan ke sebuah kotak kecil di surau itu.
“Lho, Kak, kenapa Kakak malah memasukkannya ke situ?” tanya Naya keheranan. Ditra tersenyum.
“Naya, kita ada uang lebih. Ada sebagian yang masih bisa kita simpan. Jadi, tak ada salahnya kan kita memasukkannya ke kotak amal walau tak seberapa?”
Naya pun mengangguk. Lalu keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Pulang. Tak terasa, senja pun menjelang. Senja kali ini terasa lebih istimewa. Entah. Namun yang pasti, ada kedamaian yang menelusup relung hati dua bocah yang tengah berjalan di batas kota, menuju sebuah gubuk kecil di mana mereka bernaung.

***

Sudah beberapa hari Naya menyemir sepatu seorang diri. Kakaknya, Ditra, sedang tidak enak badan. Ia batuk-batuk sebulan belakangan ini, bahkan disertai bercak-bercak darah. Tubuhnya pun semakin hari semakin kurus dan lemah. Tak tega melihat kakaknya dalam kondisi seperti itu, ia tentu tak membiarkan Ditra bekerja seperti biasa. Maka, kini  giliran Naya yang menopang kebutuhan hidup mereka berdua.
Musim penghujan telah tiba. Tak ada lagi senja seperti yang sering menyambut mereka di penghujung hari usai lelah seharian bekerja. Gubuk kecil dari kardus bekas itu pun tak kuasa lagi menopang air yang terus mengguyur. Mau tak mau, mereka pun harus mencari tempat berteduh yang baru. Namun, tak ada pilihan lain kecuali hanya emperan pertokoan yang telah ditutup oleh pemiliknya ketika malam telah tiba. Tinggal di bawah jembatan pun tak memungkinkan karena hujan yang terus mengguyur mengakibatkan debit air terus meningkat sehingga terjadi banjir.
Malam nan dingin, di bawah guyuran hujan mereka berpegangan tangan saling menguatkan. Hanya dengan beginilah mereka dapat bertahan. Hingga batuk Ditra semakin parah. Wajahnya terlihat amat pucat dan tubuhnya menggigil.
“Kak, Kakak bertahan ya! Aku akan mencari obat untuk Kakak. Tunggu sebentar, Kak!” ucap Naya dengan penuh kekhawatiran. Belum sempat beranjak, Ditra telah menggapai tangan Naya. Ia menggeleng, mencegah Naya pergi.
“Kak, tapi kondisi Kakak semakin memburuk. Aku takut, Kak!”
Air mata di pelupuk pun tak kuasa ia tahan melihat kondisi sang kakak yang kian melemah. Namun, Ditra hanya tersenyum. Ia menggenggam tangan mungil adik yang amat dicintainya itu erat. Perlahan, mata Ditra memejam. Tangannya semakin dingin dan genggaman itu pada akhirnya terlepas dari tangan Naya.
Hujan turun kian deras membasahi bumi, sederas air mata Naya yang turun membasahi pipi. Hujan di akhir bulan Desember itu pun seolah mengerti derita batin yang Naya alami. Ia menjadi saksi bagaimana sembilu telah mengoyak perihnya relung hati. Malam itu pula, rinai hujan menjadi saksi kepergian Ditra nan abadi.
  
***

Sejak kepergian sang kakak, kehidupan Naya pun jauh berbeda. Tak ada lagi tempat bersandar di mana ia selalu mencurahkan apapun yang dirasakan. Kehilangan orang-orang tercinta satu per satu membuat jiwanya goyah. Di saat anak-anak seusianya dihujani cinta dari sebuah keluarga, Naya justru harus menerima takdir hidup bahwa kini ia sebatang kara di usia yang masih belia. Ia yang dulunya periang berubah menjadi pemurung.
Hari demi hari, awan mendung masih menghiasi wajah ayu yang kini semakin sayu. Bagaikan bunga yang layu sebelum berkembang, senyum manis yang terukir dulu pun menghilang. Sampai pada suatu ketika, ia menemukan sebuah buku kecil milik Ditra. Dibacalah goresan-goresan pena dari sang kakak selama ini. Dari situlah ia menyadari salah satu keahlian yang dimiliki kakaknya. Sayang sekali, Tuhan belum mengizinkan Ditra untuk melangkah lebih jauh lagi. Hal itulah yang pada akhirnya menyadarkan Naya untuk bangkit dari keterpurukan. Ia bertekad untuk melanjutkan apapun yang bisa ia torehkan melalui goresan pena seperti halnya sang kakak.
Tahun demi tahun berganti, ketekunannya pun mulai membuahkan hasil yang pasti. Berawal dari ia sering mengirimkan surat ke redaksi sebuah koran lokal yang terkenal di kota Jogja ini, tulisannya pun berhasil dimuat. Semangatnya pun kian membuncah karena selain bisa menyalurkan kemampuan, ia juga bisa mendapatkan honor dari tulisan yang berhasil dimuat pada koran tersebut. Tulisannya pun mulai menghiasi surat-surat kabar. Di mana ada kesempatan, di situlah tak ia sia-siakan.
Lima belas tahun berlalu dari peristiwa itu, Naya telah tumbuh menjadi seorang gadis berparas ayu dan berhasil menjadi salah seorang novelis hebat yang dikenal dengan nama pena “Alea”. Tulisan-tulisannya pun sedikit banyaknya bersumber dari pahit getirnya kehidupan yang selama ini ia jalani seorang diri. Melalui novel-novel itu, ia ingin membagi apapun yang ia rasakan kepada pembaca setianya. Ia berharap, cerita-cerita yang ia bagikan mampu menginspirasi banyak orang, utamanya memberi pelajaran bahwa akan ada pelangi selepas hujan.

***

Desember di penghujung tahun 2019 menjadi hari yang paling ditunggu bagi Alea. Bulan ini, novel terbarunya akan segera launching ke pasaran. Sebuah novel berjudul “Senja di Batas Kota” menjadi salah satu cerita inspiratif dari Alea yang mengisahkan di sebuah pinggiran kota terdapat kehidupan dua anak manusia yang tengah memperjuangkan asa.
“Selamat ya, Al! Akhirnya tulisan terbarumu berhasil rilis juga!”
“Terima kasih ya, Bi, untuk semuanya. Kamu selalu hadir memberi dukungan dan menguatkan. Bahkan di masa-masa sulit sekalipun,” balas Alea dengan tatapan penuh haru. Abi mengangguk. Direngkuhnya wanita yang amat dicintainya itu ke dalam pelukan.
“Sudah, tak perlu sungkan. Memang sudah seharusnya kan kita saling melengkapi? Mungkin aku tidak akan bisa menjadi tempat sandaran ternyaman yang kamu inginkan. Namun, selama Tuhan mengizinkan, aku akan selalu menjadi rumah tempatmu singgah.”
Alea tersenyum. Ia eratkan genggaman yang melingkupi tubuh lelakinya tersebut. Lalu ia menggandeng tangannya, mengajaknya ke sebuah tempat paling istimewa baginya.
Sore itu, Abi dan Alea menyusuri jalanan kota yang padat merayap, terlebih memasuki musim liburan akhir tahun seperti ini. Yogyakarta yang merupakan salah satu destinasi wisata menjadi daya tarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk mengunjunginya. Keelokan budaya, ramah-tamah penduduk, serta berbagai spot wisata terbaik akan ditemukan di kota ini. Maka tak heran jika kota ini tak pernah sepi.
Tak lama berselang, mobil yang dikemudikan Abi pun memasuki sebuah kawasan pemakaman. Kawasan ini sudah banyak pemugaran sehingga lebih tertata dibandingkan bertahun-tahun sebelumnya. Lalu mereka melangkahkan kaki hingga terhenti di sebuah pusara bertuliskan “Aditra Elvan Narendra”.

Kakak, bagaimanakah kabarmu di sana? Apakah kau merindukanku seperti aku yang selalu merindukanmu?
Kakak, banyak hal yang ingin kuceritakan. Banyak kesedihan yang ingin kubagikan. Andai kau masih di sisi, pastilah kau serahkan bahumu sebagai tempat bersandar ternyaman bagiku. Jika kakak tahu keadaanku, apakah kau sedih melihatku seperti ini?
Masih teringat di benakku saat kau pergi meninggalkanku. Kupanggil namamu, tapi kau terus diam membisu. Aku terus mencium dan memeluk tubuhmu yang kaku, berharap keajaiban akan datang. Namun, semua sirna tatkala kau dimasukkan ke pembaringanmu nan abadi.
Aku ingin menjadi kuat seperti yang selalu engkau pinta. Namun apalah daya, tersenyum pun aku tak kuasa.
Tuhan, aku tak pintar berkata-kata. Aku hanya bisa mendoa untuk kakak yang tercinta. Tersenyumlah di sana, bersama ayah dan ibu di surga. Kan kulanjutkan hidup dengan secercah asa hingga aku menjadi perempuan tangguh laksana baja.

Air mata Alea pun jatuh tak tertahankan memandang pusara bertuliskan nama sang kakak. Sekuat apapun meraih ketegaran, masih membayang jelas di benaknya bagaimana cinta dan kasih sayang yang telah Ditra curahkan pada dirinya. Cinta itu tak pernah padam dicurahkan, sekalipun ia tengah dalam keadaan kesakitan, demi janjinya pada ayah dan ibu untuk terus mengukir senyuman di bibir mungil adik semata wayangnya itu.
Senja terakhir di penghujung bulan Desember pun tiba. Langit senja nan merona menciptakan pemandangan yang luar biasa indah di baris cakrawala. Sungguh, anugerah Tuhan yang tiada tara. Sama halnya dengan senja, Tuhan pun telah menciptakan seorang malaikat yang telah menghiasi masa kecilnya dengan amat berharga. Malaikat yang akan tetap hidup dalam hatinya meski kini ia telah terbaring untuk selama-lamanya.

~selesai~