Minggu, 26 April 2020

Belajar dengan Sistem Daring


Seperti kata pepatah, akan ada pelangi selepas hujan. Mungkin keadaan itulah yang tepat menggambarkan situasi negeri, bahkan bumi kita saat ini. Wabah tengah datang melanda, bisa mengenai siapa saja tanpa pandang usia maupun status sosial yang ada. kita harus menyadari, semua tengah berada di masa yang sulit. Kalau saja diberi pilihan, tentulah kita semua memilih keadaan normal, meski harus bekerja pagi dan petang, siang maupun malam. Namun sekali lagi, manusia hanya bisa berencana, Tuhanlah yang mentukan segalanya.
Corona atau dikenal dengan istilah Covid-19 tengah merebak di berbagai belahan dunia. Virus yang semula berasal dari daratan Cina ini telah sampai di Indonesia. Bahkan, semakin hari terjadi lonjakan pasien yang terjangkit dengan cukup signifikan. Para garda terdepan yang siap berperang dengannya pun tak luput dari sasaran, bahkan sudah cukup banyak yang gugur ketika berperang. Ratusan ribu nyawa telah melayang. Hampir tiap negara pun terserang.
Kini setiap negara beramai-ramai untuk menyerukan langkah pencegahan sebelum pandemi ini kian merebak tak terkendali. Banyak hal yang telah diupayakan, tak terkecuali negeri kita tercinta ini. Pemerintah bekerja sama dengan berbagai pihak, bahu-membahu memberantas virus yang kian merajalela, mulai dari meliburkan sekolah-sekolah, membatasi perkumpulan/kerumunan, melakukan upaya pencegahan diri, dan masih banyak lagi.
Efektifkah upaya yang dilakukan pemerintah sejauh ini? Jawabannya ‘belum seutuhnya’. Sebab, masih banyak masyarakat yang tak mematuhi apa yang telah dianjurkan pemerintah seperti tetap berdiam diri di rumah, melakukan cuci tangan setelah melakukan aktivitas, menghindari kerumunan/keramaian, dan sebagainya. Dapat kita lihat, di sudut-sudut kota meskipun mulai lengang, masih saja aja masyarakat yang tak dapat menahan diri untuk tetap di rumah. Memang, tak dapat setiap orang dipaksakan demikian. Sebab, dari beberapa bagian kecil itu, ada kelompok masyarakat yang mesti mengais rezeki setiap hari. Mereka dari golongan ekonomi ke bawah yang apabila tak ke luar rumah tak mendapatkan uang sekadar untuk makan ataupun memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Apakah mereka bisa disalahkan? Tentu saja tidak. Sebab, tak semua orang memiliki nasib yang sama.
Itulah beberapa yang bisa kita amati belakangan ini. Lantas, apa kabar dengan Jogja kita tercinta? Ternyata ia sama dengan kota-kota lain di Indonesia yang telah terjangkit. Kini Jogja mulai lengang, tak seramai biasa. Jantung Kota Jogja seperti Malioboro yang biasanya mampu menarik ribuan wisatawan tiap harinya pun perlahan sepi. Namun masih bisa kita lihat di beberapa sudut, ada pedagang yang masih membuka lapaknya, meski ia harus menanggung risiko berupa kerugian atau menantang bahaya sekalipun. Kita harus mengerti, mungkin mereka termasuk golongan orang-orang yang tak punya pilihan, yang terpaksa berjuang demi sesuap nasi yang tersaji.
Apa kabar sekolahku? Yang jelas, diliburkan untuk jangka waktu yang cukup lama. Bukan libur, lebih tepatnya belajar di rumah. Siswa belajar dan guru saling belajar dan membelajarkan dengan sistem daring. Bagi kalangan guru, dikenal dengan istilah Work from Home (WFH). Guru-guru membuat kelas belajar secara online, kemudian memposting tugas-tugas yang dikerjakan siswa di situ. Bagi guru-guru yang menguasai IT mungkin tidak akan mengalami kendala. Namun, untuk guru-guru yang belum menguasai IT, hal ini menjadi suatu kendala yang tidak bisa dianggap remeh.
Penggunaan IT bagi kalangan siswa juga sebenarnya perlu diperhatikan. Sebab, tak semua siswa mampu mengoperasikan IT dengan baik. Kendala lain datang dari siswa yang tidak mempunyai sarana belajar melalui IT, seperti handphone atau laptop di rumah. Ketika semua sistem belajar terintegrasi dengan IT, siswa yang tak mempunyai fasilitas tentu tak dapat mengaksesnya. Faktor lain yang juga menjadi kendala adalah ketersediaan kuota data. Sebab, selama proses pembelajaran, siswa akan mengunduh tugas-tugas secara online sehingga memerlukan kuota yang tidak sedikit.
Bagaimana dari sudut pandang siswa sendiri? Beberapa siswa ada yang mengeluhkan bahwa tugas-tugas yang dikerjakan secara online ternyata cukup merepotkan karena mereka harus menyediakan kuota yang mencukupi. Jika tidak punya kuota, tentunya siswa tidak dapat mengunduh tugas-tugas yang harus dikerjakan kemudian meng-upload-nya ke kelas online yang disediakan. Apabila hal itu terjadi, tentunya siswa akan ketinggalan materi maupun tugas-tugas yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, banyak siswa yang berpendapat bahwa belajar lebih nyaman dilakukan di kelas reguler daripada online. Selain materi lebih mudah dipahami, tugas pun tidak perlu diselesaikan secara online.
Sisi lain dampak dari wabah Covid-19 ini adalah ditiadakannya Ujian Nasional yang sekiranya diselenggarakan bulan April. Melihat segala dampak yang ditimbulkan, Kemendikbud pun mengambil kebijakan demikian. Padahal, menilik ke belakang, persiapan jelang UN pun sudah dilakukan semaksimal mungkin. Bahkan sebagai penggantinya, Penilaian Akhir Tahun (PAT) pun kemungkinan besar akan dilaksanakan secara online. PAT ini nantinya akan digunakan sebagai nilai pengganti UN, di samping nilai rapor selama lima semester belakangan.
Beberapa kebijakan, tidak hanya dalam bidang pendidikan tentunya telah disiapkan pemerintah untuk mengatasi pandemi ini. Apa pun itu, selama itu baik, sudah seharusnya kita mendukung kinerja pemerintah. Doa dan harapan baik harus senantiasa kita panjatkan.
Kini, kita kembalikan lagi apa yang telah terjadi kepada kuasa Tuhan. Setiap kejadian, akan selalu tersimpan hikmah di dalamnya. Kita bisa mengambil pelajaran berharga dari kejadian ini, di antaranya menjadi lebih dekat dengan keluarga. Jika selama ini kita terlalu disibukkan dengan rutinitas harian yang hampir menguras sebagian besar waktu dan pikiran, kini sebagian besar waktu dan pikiran kita hanya di rumah, untuk keluarga. Selain itu, kita juga menjadi lebih peduli dengan kesehatan dengan cara rajin mencuci tangan, menjaga kebersihan badan dan pakaian, serta lebih menghargai hakikat kebersamaan yang sesungguhnya.
Untuk yang terjadi hari ini: syukuri, hadapi, dan pahami. Sebab esok atau nanti, kita baru akan mengerti alasan Tuhan memilihkan kita jalan cerita ini.

Puisi "Penantian"


Ada tangis dalam derai tawa
Tatkala bersama mengeja bahagia
Di antara kabut menghalau pandangan mata
Desau rindu bergemuruh dalam jiwa

Kotamu, kotaku, kota kita
Bagai jantung kehilangan detaknya
Sunyi, sepi, semuanya sirna
Sejak hadirnya virus corona

Tiada keramaian di sudut-sudut kota
Para pedagang telah menggulung lapaknya
Masih tersisa rakyat jelata
Menggantungkan hidup menantang bahaya

Manusia hanya bisa berupaya
Tuhan-lah yang tentukan segalanya
Garda terdepan perjuangan bangsa
Semoga sehat senantiasa

Berusahalah melakukan yang terbaik
Di saat masa sulit
Di mana semua serba terbatas
Sebab hanya kepedulianmu
Yang dipedulikan Tuhan

Jangan pernah mengabaikan
Apa yang harus kita perhatikan

Cerpen "Satu Hari di Bulan Mei"


Suatu malam di bulan September, penghujung tahun 2008. Jarum jam telah menunjukkan pukul 00.00 lebih. Namun, mata ini seolah tiada mau memejam. Saya terdiam di sudut kamar ditemani rintik hujan yang perlahan membasahi bumi. Tetesan demi tetesan yang jatuh pun seolah memahami apa yang tengah saya rasakan saat itu. Saya kembali memutar memori. Satu per satu peristiwa yang tengah saya alami bermunculan, mengoyak keteguhan hati.
Berselimut malam nan dingin, diri ini hanya bisa bergumam lirih. Pikiran saya kacau, sedang benar-benar kacau. Untuk mampu berdiri tegak saja saya tak bisa. Makan dan minum pun tak selera. Yang terhempas dan yang putus; frasa yang mampu menggambarkan bagaimana suasana hati saya. Pikiran saya masih belum mampu mencerna peristiwa yang terjadi begitu cepat.
Positif. Sebuah hasil tespack yang cukup mengejutkan bagi saya yang kala itu baru saja menginjak 17 tahun. Orang mengatakan sweet seventeen merupakan masa termanis dalam perjalanan hidup. Namun, itu tampaknya tak berlaku bagi saya. Tujuh belas tahun justru menjadi awal perjalanan yang berat dalam menapaki roda-roda kehidupan. Tak terbayang dalam benak saya, bagaimana saya bisa melalui hari-hari berat, dimulai dari malam itu juga.

Usia 17

Lilin kecil
Sinarmu pancarkan harapan

Jangan kau hilang
Jangan kau pergi
Temani aku yang sedih dan sepi

Air mata jatuh basahi pelangi
Pupus warnamu di masa yang indah
Menepilah cinta
Saat tak ingin kudekati
Takkan teringkari
Masa ini kan kulalui
Takkan pernah sesal ini
Menghentikan langkah-langkahku
Menghentikan langkah-langkahku lagi

Entah kenapa lirik lagu yang dibawakan oleh Nuri Shaden dan Ariel Peterpan ini tiba-tiba terngiang di telinga, seolah mengisyaratkan apa yang tengah terjadi dalam hidup saya. Ada satu part di penggalan lirik lagu tersebut yang cukup menyedot perhatian saya ‘pupus warnamu di masa yang indah’. Sama seperti part tersebut, begitulah kiranya diri saya, bak bunga yang telah layu sebelum berkembang.
Pikiran dan hati ini pun enggan menyatu. Mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergejolak hebat di dalam dada, walau tak satu pun saya temukan jawabnya. Tubuh saya menggigil hebat, lidah pun terasa kelu. Seketika dunia yang indah itu telah runtuh dalam waktu sekejap. Saya tak kuasa membayangkan apa saja yang akan dikatakan orang-orang, entah esok, lusa, maupun masa yang akan datang. Tak kuasa pula saya membayangkan amarah dan rasa malu yang terpampang di wajah kedua orang tua saya.
Dalam keadaan lemah tak berdaya saya hanya bisa berbisik lirih pada Tuhan. “Tuhan, apakah gerangan yang terjadi pada saya kini? Tolonglah saya, Tuhan, jangan biarkan saya menghadapi ini seorang diri.”

Cobaan Berat itu Datang

Apa yang saya khawatirkan terbukti benar. Secepat angin yang berembus, kabar ini pun sampai ke telinga orang-orang. Mereka mulai memandang negatif dengan apa yang terjadi dalam diri saya. Hinaan, cacian, bully-an, menjadi suatu hal yang mulai akrab di telinga saya. Satu per satu kawan pun pergi meninggalkan saya. Di situ saya merasa benar-benar frustrasi, bahkan nyaris membuat saya ingin menyerah dan mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Untunglah, kedua orang tua masih berpihak pada saya, sekalipun saya telah melakukan kesalahan besar dan mencoreng nama baik mereka di mata semua orang.
Saya mulai menjalani kehidupan seperti biasa, tak peduli dengan apa yang dikatakan orang pada saya. Lama-lama saya menjadi terbiasa, walau tak jarang, sebagai manusia biasa, saya tetap saja merasa lemah dan tak berdaya melawan dunia yang seolah tengah menertawakan saya. Di sekolah, teman-teman mengucilkan diri saya. Saya hanya mampu menyendiri, menepi dari hingar bingar kehidupan yang telah melarutkan saya hingga jauh. Di titik ini saya tersadar akan satu hal: betapa selama ini saya telah jauh dari jalan Tuhan.

Pada Suatu Masa

Tuhanku,
Dalam hening kusebut nama-Mu
Mengingat suatu masa
Di mana aku terkungkung di dalamnya
Penuh dengan kubangan dosa

Aku terus berjalan
Jatuh bangun tanpa pegangan
Menapaki liku-liku kehidupan
Hingga tibalah pada titik tujuan

Pada satu waktu aku merenung
Aku telah jauh melangkah
Berhamburan tak tentu arah
Hingga keyakinan mulai goyah

Ketika aku berjalan kian jauh
Engkau seakan penguat di kala rapuh
Hingga aku pun duduk bersimpuh
Mengingat-Mu dengan segala peluh

Oh Tuhan,
Lirih kulantunkan asma-Mu
Jangan biarkan kusendiri
Jalani hari dalam sunyi

Ada satu hal yang masih saya syukuri; saya masih diizinkan sekolah dan menyelesaikannya hingga ujian akhir tiba. Setidaknya ini adalah sebuah kesempatan luar biasa yang saya terima.
Menjalani hari dengan kondisi yang tengah saya alami bukanlah hal yang mudah. Di beberapa kegiatan yang mengharuskan aktivitas fisik yang berat, olahraga misalnya, saya tak bisa mengikutinya. Alhasil, saya pun diwajibkan menggantinya dengan tugas lain yang tidak menggunakan aktivitas fisik. Melihat teman-teman seusia saya yang begitu menikmati masa remajanya di sekolah dengan ceria terkadang membuat saya merasa sedih. Saya hanya mampu duduk dan memandang mereka dari kejauhan. Itu sudah cukup bagi saya.
Jika ditanya siapa orang yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada saya, saya tidak akan banyak menjelaskannya. Diam adalah satu kata yang tepat dan akan saya pilih. Ini lebih kepada komitmen yang telah disepakati bersama. Saya lebih memilih berkonsentrasi pada ujian sekolah yang tinggal beberapa bulan lagi di depan mata.
Hari pun silih berganti. Hingga tiba saat Ujian Nasional (UN) itu. Enam hari dengan enam mata pelajaran: Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Biologi, Kimia, dan Fisika. Karena saya mengambil jurusan IPA, maka itulah mata pelajaran yang diujikan per harinya. Saya sudah bertekad untuk tidak boleh gagal. Saya harus menunjukkan bahwa di antara manusia-manusia yang bersalah sekalipun, selalu ada sebuah kesempatan untuk berkembang dan melakukan perubahan. Dan itu, akan saya mulai dengan sukses di UN ini. Akhirnya ujian pun selesai. Tinggal menanti datangnya masa di mana pengumuman kelulusan itu tiba.
Satu pagi di bulan Mei menjadi hari yang paling dinanti bagi para pejuang ujian, sama halnya dengan saya. Saat itulah pengumuman kelulusan tiba. Beberapa hari sebelumnya sudah banyak yang melakukan persiapan seperti membeli pilox atau spidol warna-warni untuk merayakan kelulusan. Semua tampak bersuka cita, meski debaran demi debaran tak terbendung di dalam dada. Namun, itu tidak berlaku dalam diri saya. Pagi itu, saya tengah berjuangan di sebuah ruangan bersama seorang dokter dan perawat lainnya. Saya hanya bisa berucap di dalam hati, “Tuhan, tolong!
Seorang malaikat kecil telah dihadirkan Tuhan untuk mengisi dunia saya. Usai sembilan bulan berjuang mati-matian deminya, kini saya dapat menggenggam tangan mungil itu. Tak terasa air mata ini jatuh bercucuran. Saya tak kuasa mengungkapkan apapun dalam hati. Namun satu hal yang saya rasa, saya dapat tersenyum bahagia melihatnya.
Masih dalam suasana larut dengan hari saya yang baru ketika ayah datang dan memberi tahu bahwa saya berhasil meraih juara pertama nilai UN terbaik di sekolah. Saya tak percaya, tapi ayah menunjukkan hasilnya pada saya. “Terima kasih, Tuhan.” Satu hari di bulan Mei telah berhasil kulewati dengan sebuah pembuktian bahwa siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Juga kasih Tuhan itu nyata. Dia selalu memberi kesempatan kepada setiap orang yang memang mau berusaha memperbaiki diri dari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat, seberapa besar pun itu.
Sepuluh tahun telah berlalu dari hari itu. Malaikat kecil saya nan lucu kian tumbuh dan menjadi seorang anak laki-laki yang hebat. Dia adalah penyemangat saya, menjadi lentera dalam kegelapan hidup saya. Saya juga telah menyelesaikan study sampai jenjang S-2. Kini, saya mengabdikan diri menjadi seorang pengajar di salah satu kampus negeri ternama di kota saya. Berbagi ilmu dengan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai penjuru kota di seluruh Indonesia memberi warna tersendiri dalam hari-hari saya. Saya pun menyadari betul peran saya. Pengalaman hidup yang kurang menguntungkan di masa muda menjadi pembelajaran tersendiri bagi saya. Namun, itu tak menyurutkan langkah saya. Saya selalu percaya bahwa seburuk apapun masa lalu, masa depan adalah sebuah kesucian yang bisa didapatkan dengan tekad kuat serta doa yang tak pernah pupus. Meskipun dalam perjalanannya banyak kerikil tajam yang siap menghadang, selama keyakinan tak tergoyahkan, impian kan ada dalam genggaman.