Cerpen Jenggala
Secarik
kertas dibalik. Ketika mata ini melirik, memori lampau kembali menyapa. Lantas kubuka
buku kenangan lama. Teringat beberapa kisah awal ketika diri belum ada
sama sekali bekal.
Semburat senja
telah tampak di barisan cakrawala. Melesapkan panasnya hawa dengan sekejap mata.
Waktu memanglah gesit. Jikalau tak mampu menangkap walau hanya sedikit, niscaya
penyesalan memerangkap. Ruginya bukan main. Bahkan, sampai ada tekanan batin.
Kalau kembali
kuingat, perjalanan selama tiga tahun terakhir ini terasa begitu cepat. Aku bersiap
pergi menjejakkan kaki ke jenjang yang lebih tinggi. Di sanalah aku akan menempa
diri, menjalani kerasnya perjalanan nan hakiki, hingga kelak menjadi manusia
sejati. Namun, sebelum meninggalkan kota ini, izinkanlah aku menumpahkan
sepenggal rasa dalam baris-baris frasa yang telah kurangkai sedemikian rupa.
Hujan
mengguyur, licin membuatku tercebur. Aku ada di antara sekian banyak siswa baru
yang datang pada pagi itu. Gerbang telah dibuka. Di sana, Bapak dan Ibu Guru telah
bersiap menyambut para siswa yang mulai berdatangan. Seutas senyuman
tersungging di bibirku. Ya, inilah tempatku menimba ilmu dalam tiga tahun yang
akan datang.
Denting waktu
terus berjalan. Aku menikmati tiap detik momen yang terjadi di sekolah baru
ini. Di sini aku mulai memperoleh kawan. Merekalah yang pada akhirnya nanti
menggoreskan tawa yang mewarnai hari-hariku dengan penuh arti.
Semua berjalan
sebagaimana mestinya, hingga pada suatu ketika datanglah pandemi yang tiada disangka-sangka.
Segala sesuatu yang tadinya berjalan dengan normal menjadi penuh liku dan
tantangan. Ternyata, menyesuaikan diri dengan keadaan seperti ini tidaklah
mudah, terutama dampak yang terasa adalah dalam menyerap sari-sari ilmu. Tak ada
lagi tawa dan canda di ruang-ruang kelas yang kurasakan tiap-tiap pagi. Kelas-kelas
pun seolah merintih sepi tak berpenghuni.
Suatu hari di
tahun ajaran baru, aku telah beranjak ke jenjang kelas berikutnya. Namun, pandemi
belum juga usai. Aku ibarat sebuah kapal nan runtuh hingga tak mampu berlabuh. Sampai
pada suatu ketika, aku bertemu dengan Bu Melda, wali kelasku yang baru. Darinya
aku mulai menempa kembali serpihan-serpihan harapan untuk menyongsong masa
depan.
Bu Melda. Ibu
telah memperhatikan diri ini yang tak bisa apa-apa. Datang dari jauh, menyulap
yang rapuh menjadi utuh. Tatkala kegelapan lautan menghampiri hingga membuatku
gemetar, Bu Melda menjadi mentari nan membimbing diri agar tak mudah gentar
walau petir menyambar. Jarum kompas rancu berulang. Namun, Bu Melda menjadi
rasi bintang agar kapal ini tetap bisa berlayar.
Hari-hari
penuh persiapan jelang ujian pun terus berpacu dalam waktu. Ada kalanya aku kembali
dirubung ketakutan. Namun, kucoba meyakinkan diri, berpedoman pada doa dan keyakinan
akan ada cahaya setelah kegelapan. Bak pelangi selepas hujan.
Ingatan itu
melesat kembali pada hari ini, hari di mana esok aku akan mulai menjalani langkah
baru. Sudah terlampau banyak yang terkenang hingga bingung bagaimana lagi yang
harus kuungkapkan. Secuil cerita dari perjalanan hidupku nan panjang. Kelak akan
menjadi suatu bab yang tertuang dalam buku catatan. Kutahu kata-kata ini berbelit-belit
karena ini cukup rumit.
Masih kuingat
nasihat dari Bu Melda, “Sukses adalah sebuah perjalanan. Nikmati, jalani,
dan syukuri setiap tahapan dari perjalanan itu sendiri hingga kamu akan menjadi
manusia baru yang lebih tangguh dan unggul dari sebelumnya.” Inilah yang akan
menjadi bekalku untuk menguatkan hati, melangkah esok hari.
Aku mungkin
belum bisa memberi apa-apa untuk semesta yang sudah memberiku banyak hal nan
berharga. Aku hanya bisa menggumam seuntai doa agar selalu bahagia, diberi
sehat sentosa, dan selalu dijaga Yang Maha Esa. Kelak, aku bisa menjadi
jenggala yang memberi kesejukan, juga lentera yang akan selalu bersinar dalam
kegelapan.
~selesai~