Senin, 04 Juli 2022

Cerpen Jenggala

 Cerpen Jenggala

Secarik kertas dibalik. Ketika mata ini melirik, memori lampau kembali menyapa. Lantas kubuka buku kenangan lama. Teringat beberapa kisah awal ketika diri belum ada sama sekali bekal.

Semburat senja telah tampak di barisan cakrawala. Melesapkan panasnya hawa dengan sekejap mata. Waktu memanglah gesit. Jikalau tak mampu menangkap walau hanya sedikit, niscaya penyesalan memerangkap. Ruginya bukan main. Bahkan, sampai ada tekanan batin.

Kalau kembali kuingat, perjalanan selama tiga tahun terakhir ini terasa begitu cepat. Aku bersiap pergi menjejakkan kaki ke jenjang yang lebih tinggi. Di sanalah aku akan menempa diri, menjalani kerasnya perjalanan nan hakiki, hingga kelak menjadi manusia sejati. Namun, sebelum meninggalkan kota ini, izinkanlah aku menumpahkan sepenggal rasa dalam baris-baris frasa yang telah kurangkai sedemikian rupa.

Hujan mengguyur, licin membuatku tercebur. Aku ada di antara sekian banyak siswa baru yang datang pada pagi itu. Gerbang telah dibuka. Di sana, Bapak dan Ibu Guru telah bersiap menyambut para siswa yang mulai berdatangan. Seutas senyuman tersungging di bibirku. Ya, inilah tempatku menimba ilmu dalam tiga tahun yang akan datang.

Denting waktu terus berjalan. Aku menikmati tiap detik momen yang terjadi di sekolah baru ini. Di sini aku mulai memperoleh kawan. Merekalah yang pada akhirnya nanti menggoreskan tawa yang mewarnai hari-hariku dengan penuh arti.

Semua berjalan sebagaimana mestinya, hingga pada suatu ketika datanglah pandemi yang tiada disangka-sangka. Segala sesuatu yang tadinya berjalan dengan normal menjadi penuh liku dan tantangan. Ternyata, menyesuaikan diri dengan keadaan seperti ini tidaklah mudah, terutama dampak yang terasa adalah dalam menyerap sari-sari ilmu. Tak ada lagi tawa dan canda di ruang-ruang kelas yang kurasakan tiap-tiap pagi. Kelas-kelas pun seolah merintih sepi tak berpenghuni.

Suatu hari di tahun ajaran baru, aku telah beranjak ke jenjang kelas berikutnya. Namun, pandemi belum juga usai. Aku ibarat sebuah kapal nan runtuh hingga tak mampu berlabuh. Sampai pada suatu ketika, aku bertemu dengan Bu Melda, wali kelasku yang baru. Darinya aku mulai menempa kembali serpihan-serpihan harapan untuk menyongsong masa depan.

Bu Melda. Ibu telah memperhatikan diri ini yang tak bisa apa-apa. Datang dari jauh, menyulap yang rapuh menjadi utuh. Tatkala kegelapan lautan menghampiri hingga membuatku gemetar, Bu Melda menjadi mentari nan membimbing diri agar tak mudah gentar walau petir menyambar. Jarum kompas rancu berulang. Namun, Bu Melda menjadi rasi bintang agar kapal ini tetap bisa berlayar.

Hari-hari penuh persiapan jelang ujian pun terus berpacu dalam waktu. Ada kalanya aku kembali dirubung ketakutan. Namun, kucoba meyakinkan diri, berpedoman pada doa dan keyakinan akan ada cahaya setelah kegelapan. Bak pelangi selepas hujan.

Ingatan itu melesat kembali pada hari ini, hari di mana esok aku akan mulai menjalani langkah baru. Sudah terlampau banyak yang terkenang hingga bingung bagaimana lagi yang harus kuungkapkan. Secuil cerita dari perjalanan hidupku nan panjang. Kelak akan menjadi suatu bab yang tertuang dalam buku catatan. Kutahu kata-kata ini berbelit-belit karena ini cukup rumit.

Masih kuingat nasihat dari Bu Melda, “Sukses adalah sebuah perjalanan. Nikmati, jalani, dan syukuri setiap tahapan dari perjalanan itu sendiri hingga kamu akan menjadi manusia baru yang lebih tangguh dan unggul dari sebelumnya.” Inilah yang akan menjadi bekalku untuk menguatkan hati, melangkah esok hari.

Aku mungkin belum bisa memberi apa-apa untuk semesta yang sudah memberiku banyak hal nan berharga. Aku hanya bisa menggumam seuntai doa agar selalu bahagia, diberi sehat sentosa, dan selalu dijaga Yang Maha Esa. Kelak, aku bisa menjadi jenggala yang memberi kesejukan, juga lentera yang akan selalu bersinar dalam kegelapan.

 

~selesai~