Kamis, 29 Juli 2021

Cerpen "Kota Mati"

Kota Mati

Notebook abu-abu nan berdiam, kupandangi dalam-dalam sebelum aku lebur dan tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang telah kuagendakan. Kubuka sebuah file berisi lagu-lagu kenangan lama yang telah kusimpan di sudut ruang penyimpanan.

 

Ciuman manis itu

Masih terasa

Membekas di bibirku

Belum terhapus

 

Dia hilang dari pelukku

Dia hilang bagai mimpi

Dia hilang dari sadarku

Dan dia hilang

 

Masih kurasakan

Masih kurindukan

Masih kuinginkan

Bercinta denganmu

 

Masih kurasakan

Masih kurindukan

Masih kuinginkan

 

Tubuh yang wangi itu

Masih tercium

Gelas anggur untukmu

Belum tersentuh

 

Cinta cinta cintamu

 

Masih kuinginkan

(Ciuman manis itu)

 

Masih kurindukan

(Tubuh yang wangi itu)

 

Lantunan lagu milik Java Jive berjudul Hilang ini terus menggema di telingaku. Mengingatkanku pada seseorang nan jauh di sana. Seseorang yang entah kenapa selalu kunanti kedatangannya, sejak hari itu, di mana kembali aku dipertemukan dengannya setelah sekian lamanya waktu perpisahan.

Masih kuingat dengan jelas detik demi detik yang terlewati pada hari itu. Yang telah membuat kita melupakan sekat tebal yang membumbung di antara aku dengannya. Semua seakan hilang. Yang tersisa hanyalah keintiman tatkala dua bibir ini mulai berpagut dalam satu.

Aku mengenalnya sudah lama, jauh ketika masih awal kuliah di salah satu universitas di Jogja, sekitar tahun 2011. Namun, tak lama kami pun berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing setahun kemudian, tepatnya tahun 2012. Dia masih dengan kehidupannya di Jakarta. Sampai pada suatu ketika, kami dipertemukan kembali sekitar tahun 2016 ketika ia kembali beberapa waktu lamanya di kota yang selalu penuh cinta, Jogja.

Malam semakin larut ketika aku menapaki jalan menuju terminal. Entah langkah apa yang membawaku berada di tempat ini, hampir dini hari. Dari kejauhan, samar-samar ada sosok yang semakin mendekat. Sosok yang secara kasat mata terlihat asing tapi dengan hati ini aku tak lagi merasa asing. Hingga tatkala dirinya semakin dekat, kemudian melayangkan sebuah pelukan, aku pun hanya berdiri kaku, namun seutas senyuman mengembang di bibirku. “Dia masih seperti yang dulu,” kataku.

Kami menyusuri jalanan di Kota Jogja nan lengang, sekitar pukul 01.00 dini hari. Memutari jalan-jalan kenangan bagi kami, dulu, bertahun-tahun yang lalu. Pertemuan itu seolah kembali membangkitkan lagi gairah rasa yang dulu pernah ada, namun kini semakin berbeda, setelah kehidupan masing-masing yang kami jalani. Dan benar saja, setelah hari itu, hati kembali tertaut menjadi satu, hingga saat-saat ketika ia kembali dari Jakarta menjadi saat yang kutunggu dengan penuh harapan untuk setiap pertemuan yang dirindukan, menghempaskan segenap rasa tatkala jarak terpampang di depan mata.

Jakarta dan Jogja adalah dua kota nan istimewa, kota yang selalu menghidupkan cinta di antara kita. Seperti sore ini di mana hujan mengguyur sepanjang hari, bentuk cinta dari hujan pada padatnya Kota Jakarta. Kota yang tak pernah tidur sepanjang hari. Derai-derai hujan nan membasahi pun semakin menyejukkan hati, terlebih menuju siang di kawasan Kota Tua ini.

Museum Fatahillah di kompleks Kota Tua masih berdiri dengan gagahnya. Banyak orang berlalu lalang untuk sekadar berfoto hingga memberi makan burung merpati, ada pula yang memilih menyewa sepeda beserta perlengkapannya, bahkan menikmati aneka kuliner yang disajikan. Semua dipenuhi dengan keceriaan. Aku lebih memilih menikmati kuliner sembari menyewa sebuah sepeda untuk berputar-putar di kawasan ini. Kupikir beginilah caraku memanfaatkan waktu hingga sore tiba, sebelum kita berjumpa.

Sore ini, di antara Monas nan gagah menjulang, aku menunggu hadirmu. Masih dengan suasana sehabis hujan dan sejuk semilir angin nan berembus, menambah kerinduan di relung hatiku. “Oh Tuhan, betapa damainya suasana ini,” begitu pikirku dalam hati.

Setelah sekian lamanya, akhirnya kita bisa menikmati senja bersama, walau senja kala itu tertutup pekatnya mendung nan menggelayut di langit Jakarta. Bukan rona merah nan menggantung di cakrawala, tapi tak apa, rasa hati begitu lega tatkala kita berjumpa walau hanya sekejab mata setelah sekian lama. Aku menghabiskan liburan akhir tahunku di sini, Kota Jakarta. Mungkin untuk sebagian orang, Jakarta bukanlah kota tujuan untuk berlibur. Kota yang selalu padat, terlebih pada jam-jam pulang kantor tiba seperti sore hari.

Aku meninggalkan Monas, berjalan menyusuri koridor Trans Jakarta ketika malam tiba. Hingga kita berpisah tatkala salah satu bus yang akan membawaku sampai. Kau melepas genggaman tanganmu dan melambaikannya saat perlahan-lahan mulai menjauh bersama laju bus yang membawaku ke kawasan Cipayung, Jakarta Timur.

Usai berlibur, saatnya kembali ke kota tercinta, Yogyakarta. Sebelumnya, kau terlebih dahulu kembali karena sebuah urusan yang tak bisa ditunda. Aku telah sampai di Stasiun Pasar Senen siang hari meskipun jadwal keretaku hari ini malam hari. Kupikir, lebih baik aku menghindari macet dengan berangkat lebih awal seperti ini.

Aku mengantarkanmu ke Stasiun Tugu Yogyakarta di hari ketiga tahun nan baru. Kau pun harus kembali menunaikan tugasmu di sana. Saat itu hujan turun dengan derasnya, seolah mengerti perasaan hati nan gundah gulana, kembali bergelut dengan jarak yang membentang nyata. Bukankah ini sudah terbiasa terjadi dalam relasi yang tak biasa ini? Lantas, apa yang mesti aku takutkan? Bergelut dalam sepi tanpa ada kau yang menemani?

Aku suka melewati stasiun ataupun bandara. Setiap kali memandang kereta atau pesawat, aku selalu teringat akan dirimu, akan senyum dan kehangatan yang kau berikan padaku setiap kali kita bertemu. Rasanya tak ingin berlama-lama berpisah denganmu, bahkan selalu berharap ada di sampingmu setiap waktu.

Kita tidak pernah tahu apa rencana Tuhan. Terkadang aku berpikir dalam sunyi, kenapa kita dipertemukan oleh Tuhan? Apakah suatu saat nanti kita akan satu tujuan, ataukah hanya tinggal dalam kenangan? Aku tak tahu. Yang kutahu adalah aku mencintaimu dalam hatiku, setulus aku selalu berharap untuk hadirnya kebahagiaan dalam hidupmu, entah kau akan mengetahuinya hari ini, esok, maupun nanti. Ketika diriku jauh terbentang jarak denganmu, bukan berarti aku tak bersamamu, tapi kau selalu ada dan menempati ruang istimewa di dalam hatiku. Aku mencintaimu bukan karena siapa kamu, tapi karena aku bisa menjadi apa adanya diriku saat bersamamu.

Aku ingin mengatakan padamu bahwa di manapun aku berada, apapun yang terjadi, aku akan selalu memikirkanmu. Dan waktu yang telah kita habiskan bersama adalah waktu yang menyenangkan dalam hidupku. Terima kasih karena telah menjadi bagian itu. Aku mencintaimu dan akan selalu begitu. Dan hari-hari panjang yang kulalui tanpamu laksana sebuah kota nan mati. Ia kehilangan harapan di tempat menggantungkan seluruh angan.