Kota Mati
Notebook
abu-abu nan berdiam, kupandangi dalam-dalam sebelum aku lebur dan tenggelam dalam
tumpukan pekerjaan yang telah kuagendakan. Kubuka sebuah file berisi lagu-lagu kenangan
lama yang telah kusimpan di sudut ruang penyimpanan.
Ciuman
manis itu
Masih
terasa
Membekas
di bibirku
Belum
terhapus
Dia
hilang dari pelukku
Dia
hilang bagai mimpi
Dia
hilang dari sadarku
Dan dia
hilang
Masih
kurasakan
Masih
kurindukan
Masih
kuinginkan
Bercinta
denganmu
Masih
kurasakan
Masih
kurindukan
Masih
kuinginkan
Tubuh
yang wangi itu
Masih
tercium
Gelas anggur
untukmu
Belum
tersentuh
Cinta
cinta cintamu
Masih
kuinginkan
(Ciuman
manis itu)
Masih
kurindukan
(Tubuh
yang wangi itu)
Lantunan lagu milik Java Jive berjudul Hilang ini terus menggema di telingaku. Mengingatkanku pada
seseorang nan jauh di sana. Seseorang yang entah kenapa selalu kunanti kedatangannya,
sejak hari itu, di mana kembali aku dipertemukan dengannya setelah sekian lamanya
waktu perpisahan.
Masih kuingat dengan
jelas detik demi detik yang terlewati pada hari itu. Yang telah membuat kita
melupakan sekat tebal yang membumbung di antara aku dengannya. Semua seakan hilang.
Yang tersisa hanyalah keintiman tatkala dua bibir ini mulai berpagut dalam
satu.
Aku mengenalnya sudah lama,
jauh ketika masih awal kuliah di salah satu universitas di Jogja, sekitar tahun
2011. Namun, tak lama kami pun berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing setahun
kemudian, tepatnya tahun 2012. Dia masih dengan kehidupannya di Jakarta. Sampai
pada suatu ketika, kami dipertemukan kembali sekitar tahun 2016 ketika ia
kembali beberapa waktu lamanya di kota yang selalu penuh cinta, Jogja.
Malam semakin larut
ketika aku menapaki jalan menuju terminal. Entah langkah apa yang membawaku
berada di tempat ini, hampir dini hari. Dari kejauhan, samar-samar ada sosok
yang semakin mendekat. Sosok yang secara kasat mata terlihat asing tapi dengan
hati ini aku tak lagi merasa asing. Hingga tatkala dirinya semakin dekat, kemudian
melayangkan sebuah pelukan, aku pun hanya berdiri kaku, namun seutas senyuman
mengembang di bibirku. “Dia masih seperti
yang dulu,” kataku.
Kami menyusuri jalanan
di Kota Jogja nan lengang, sekitar pukul 01.00 dini hari. Memutari jalan-jalan
kenangan bagi kami, dulu, bertahun-tahun yang lalu. Pertemuan itu seolah
kembali membangkitkan lagi gairah rasa yang dulu pernah ada, namun kini semakin
berbeda, setelah kehidupan masing-masing yang kami jalani. Dan benar saja,
setelah hari itu, hati kembali tertaut menjadi satu, hingga saat-saat ketika ia
kembali dari Jakarta menjadi saat yang kutunggu dengan penuh harapan untuk
setiap pertemuan yang dirindukan, menghempaskan segenap rasa tatkala jarak
terpampang di depan mata.
Jakarta dan Jogja
adalah dua kota nan istimewa, kota yang selalu menghidupkan cinta di antara
kita. Seperti sore ini di mana hujan mengguyur sepanjang hari, bentuk cinta dari
hujan pada padatnya Kota Jakarta. Kota yang tak pernah tidur sepanjang hari. Derai-derai
hujan nan membasahi pun semakin menyejukkan hati, terlebih menuju siang di kawasan
Kota Tua ini.
Museum Fatahillah di kompleks
Kota Tua masih berdiri dengan gagahnya. Banyak orang berlalu lalang untuk
sekadar berfoto hingga memberi makan burung merpati, ada pula yang memilih
menyewa sepeda beserta perlengkapannya, bahkan menikmati aneka kuliner yang
disajikan. Semua dipenuhi dengan keceriaan. Aku lebih memilih menikmati kuliner
sembari menyewa sebuah sepeda untuk berputar-putar di kawasan ini. Kupikir
beginilah caraku memanfaatkan waktu hingga sore tiba, sebelum kita berjumpa.
Sore ini, di antara
Monas nan gagah menjulang, aku menunggu hadirmu. Masih dengan suasana sehabis
hujan dan sejuk semilir angin nan berembus, menambah kerinduan di relung
hatiku. “Oh Tuhan, betapa damainya
suasana ini,” begitu pikirku dalam hati.
Setelah sekian lamanya,
akhirnya kita bisa menikmati senja bersama, walau senja kala itu tertutup
pekatnya mendung nan menggelayut di langit Jakarta. Bukan rona merah nan
menggantung di cakrawala, tapi tak apa, rasa hati begitu lega tatkala kita
berjumpa walau hanya sekejab mata setelah sekian lama. Aku menghabiskan liburan
akhir tahunku di sini, Kota Jakarta. Mungkin untuk sebagian orang, Jakarta
bukanlah kota tujuan untuk berlibur. Kota yang selalu padat, terlebih pada
jam-jam pulang kantor tiba seperti sore hari.
Aku meninggalkan Monas,
berjalan menyusuri koridor Trans Jakarta ketika malam tiba. Hingga kita
berpisah tatkala salah satu bus yang akan membawaku sampai. Kau melepas
genggaman tanganmu dan melambaikannya saat perlahan-lahan mulai menjauh bersama
laju bus yang membawaku ke kawasan Cipayung, Jakarta Timur.
Usai berlibur, saatnya
kembali ke kota tercinta, Yogyakarta. Sebelumnya, kau terlebih dahulu kembali
karena sebuah urusan yang tak bisa ditunda. Aku telah sampai di Stasiun Pasar Senen
siang hari meskipun jadwal keretaku hari ini malam hari. Kupikir, lebih baik
aku menghindari macet dengan berangkat lebih awal seperti ini.
Aku mengantarkanmu ke
Stasiun Tugu Yogyakarta di hari ketiga tahun nan baru. Kau pun harus kembali menunaikan
tugasmu di sana. Saat itu hujan turun dengan derasnya, seolah mengerti perasaan
hati nan gundah gulana, kembali bergelut dengan jarak yang membentang nyata. Bukankah
ini sudah terbiasa terjadi dalam relasi yang tak biasa ini? Lantas, apa yang
mesti aku takutkan? Bergelut dalam sepi tanpa ada kau yang menemani?
Aku suka melewati
stasiun ataupun bandara. Setiap kali memandang kereta atau pesawat, aku selalu
teringat akan dirimu, akan senyum dan kehangatan yang kau berikan padaku setiap
kali kita bertemu. Rasanya tak ingin berlama-lama berpisah denganmu, bahkan
selalu berharap ada di sampingmu setiap waktu.
Kita tidak pernah tahu
apa rencana Tuhan. Terkadang aku berpikir dalam sunyi, kenapa kita dipertemukan
oleh Tuhan? Apakah suatu saat nanti kita akan satu tujuan, ataukah hanya
tinggal dalam kenangan? Aku tak tahu. Yang kutahu adalah aku mencintaimu dalam
hatiku, setulus aku selalu berharap untuk hadirnya kebahagiaan dalam hidupmu,
entah kau akan mengetahuinya hari ini, esok, maupun nanti. Ketika diriku jauh
terbentang jarak denganmu, bukan berarti aku tak bersamamu, tapi kau selalu ada
dan menempati ruang istimewa di dalam hatiku. Aku mencintaimu bukan karena
siapa kamu, tapi karena aku bisa menjadi apa adanya diriku saat bersamamu.
Aku ingin mengatakan
padamu bahwa di manapun aku berada, apapun yang terjadi, aku akan selalu
memikirkanmu. Dan waktu yang telah kita habiskan bersama adalah waktu yang
menyenangkan dalam hidupku. Terima kasih karena telah menjadi bagian itu. Aku
mencintaimu dan akan selalu begitu.